by

Paul Gascoigne: Sosok yang Penuh Teka-teki dan Kegilaan

“Ketika kami mendapatkannya, ya Tuhan, rasanya seperti Yesus Kristus telah tiba,” ucap seorang Laziali yang sangat bersemangat menyambut kedatangan seorang pemain Inggris yang ikonik. Mereka bahkan menganggapnya seperti Mesias dari Galilea bangkit dari makamnya. Ya, dia adalah Paul Gascoigne, yang datang dari Tottenham Hotspur ke Lazio, sebuah karya pertama dari sekian banyak warisan Sergio Cragnotti selama jadi Presiden klub Lazio. 

Ketika Gascoigne ucapkan selamat tinggal kepada tanah Inggris pada akhir tahun 1992, setahun terakhir dari momen itu, telah dihabiskannya di pinggir lapangan, pengobatan dari cedera lutut yang dideritanya di klub malam, bertepatan ketika Tottenham memenangkan final Piala FA 1991 atas Nottingham Forest. Meski sudah absen dalam waktu yang lama, Lazio masih tertarik mengeluarkan dana besar di bursa transfer musim dingin untuk merekrutnya. 

Meski tidak turun ke lapangan untuk pertandingan kompetitif selama 12 bulan, reputasinya sebagai pemain Inggris yang paling menghibur tetap tersemat. Dia masih sama menarik dan menggairahkan, masih punya keterampilan teknis yang luar biasa dan etos kerja tinggi yang membuatnya tidak hanya disukai para fans dalam negeri, tapi juga sampai ke luar negeri. 

Meski sudah didatangkan di musim panas, tifosi Lazio terpaksa harus menunggu hingga akhir September untuk menunggu pemain top berjuluk ‘Gazza’ ini melakukan debutnya. Dia memainkan debutnya menghadapi Genoa, bermain 41 menit, dengan memamerkan gerakan-gerakan cepatnya yang penuh cemerlang, yang sudah lama dirindukan para fans. Di Italia, dia melewati awalan karir yang sulit karena kebugaran, karena performanya tidak begitu buruk. Dia sempat membuat para ultras terkenal Lazio di Curva Nord karena sikapnya yang cuek pada penampilan yang belum maksimal. Hingga akhirnya, dia berhasil membuat semua penggemar Biancocelesti terkesima dengan gol penyeimbang di menit ke-86 saat menghadapi rival sekota AS Roma. 

Bahkan, Gascoigne, yang lahir dan besar di Inggris seperti sadar akan seberapa besarnya derby Roma. Dia berbicara sebelum pertandingan: “Derby Roma seperti laga hidup atau mati. Semoga saja, setelah hari Minggu, saya masih hidup.”

Ya, dia masih hidup dan melayang di atas angin kencang di Stadio Olimpico pada malam yang dingin di bulan November. Dia melayang di atas gawang untuk menanduk bola tendangan bebas Giuseppe Signori. Gascoigne mencetak gol dan memastikan puja-puji dari arah tribun biru Roma. Dengan tinju mengepal penuh semangat, ia dikerumuni rekan-rekan setimnya yang mengaguminya. Sementara di tribun penonton, para tifosi termasuk ultras, bergembira bahkan nyaris rusuh karena rasa senang yang amat dengan gol Gascoigne. 

Namun, gemuruh riuh tanda bahagia itu seperti lilin pendek, yang langsung padam dan badai yang mengamuk tidak benar-benar berhenti. Di luar lapangan, pers Italia terkenal kejam yang membuat Gascoigne mengalami gangguan yang belum pernah dirasakan olehnya sebelumnya. Sifatnya yang ‘nakal’ dan sering dipuji di Inggris, malah jadi bahan fitnah di Italia. Pers membuat Gascoigne terkenal di mata orang Italia, lebih banyak waktu menghabiskan melempar lelucon di luar lapangan ketimbang mengurusi performanya di atas lapangan. 

Bukan berarti tidak ada kilatan-kilatan jenius selama dia berseragam Lazio. Seperti golnya ke gawang Pescara, di mana dia menggiring bola di antara para pemain bertahan, dengan hanya memutar pinggulnya. Yang bahkan gol ini masih dianggap menjadi yang terbaik pada dekade ini. Bahkan ada anggapan bahwa gol Gascoigne ke gawang Pescara bisa disandingkan dengan gol-gol striker legendaris seperti Batistuta, Ronaldo, Del Piero sampai Baggio. 

Secara keseluruhan, Gascoigne mencatat 47 penampilan di Italia, mencetak enam gol dan tiga assist di semua kompetisi. Namun untuk sebuah liga yang tidak suka dengan trik-trik kosong, kurangnya gol dan asis di lapangan adalah yang paling penting untuk jadi dasar penilaiannya. Terlepas dari bakatnya yang tidak perlu diragukan, Italia telah menjadi sebuah kegagalan untuk Gascoigne. 

Bagi para penggemar sepak bola Italia, selama masa tinggalnya yang singkat di ibukota, Gascoigne adalah sesuatu yang penuh teka-teki, sebuah kontradiksi yang aneh dan tidak terduga tentang bagaimana ia bisa menunjukkan momen-momen keindahan sepak bola yang paling murni. Meski, di mata banyak orang, dia terlihat seperti orang gila. Dia seringkali kelebihan berat badan. Dia meninggalkan Italia di akhir musim ketiganya setelah terlibat perselisihan dengan Zdenek Zeman, pelatih yang fanatik kebugaran dan keras kepala. 

Mencari Kebangkitan, Gascoigne Tidak Pulang ke Inggris

Paul Gascoigne ketika membela klub Liga Italia Lazio.

Gazza memang terus mencari kebangkitan versinya sendiri, yang akhirnya membuat dia tidak pulang ke Inggris. Melainkan terbang ke utara negaranya, Skotlandia, untuk gabung dengan Rangers. Target Gascoigne adalah kembali ke bentuk dan kebugaran seperti semula demi satu tempat di skuat Inggris untuk Euro 1996 yang segera datang. Rangers, menjadi tempat untuk Gascoigne yang ‘lapar’ dan ‘termotivasi’. 

Rangers kala itu sedang mengejar gelar juara liga kesepuluh secara beruntun, sebuah prestasi yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam sejarah sepak bola Skotlandia. Didukung oleh kedatangan Gascoigne yang ingin mengingatkan para penggemar sepak bola Skotlandia dan Inggris tentang apa yang telah mereka rindukan selama tiga tahun karirnya di Italia. 

Tidak lama setelah ia mendarat di Glasgow, Gascoigne diberi kesempatan untuk membuat dirinya dikenal oleh para pendukung Gers saat mereka menghadapi rival bebuyutan, Celtic, dalam derbi Old Firm yang pertama di musim 1995/1996. Gascoigne bukanlah orang yang menghindari pertandingan besar dan sering kali seperti monster – terutama sepanjang laga antara kubu hijau vs biru di Kota Glasgow saling bertarung.

Untuk seorang pemain yang sering difitnah karena kebugarannya, Gascoigne membuktikan dirinya dengan melakukan sprint sejauh 90 yard untuk mendukung serangan Rangers yang sedang dibangun di atas lapangan. Setelah satu aksi saling serang yang apik antara Salenko dan McCoist, sang pemain memberikan umpan ke depan kotak penalti kepada Gascoigne, yang berlari dengan kecepatan penuh, dan dengan santai, menendang bola dengan kaki bagian samping untuk melewati kiper lawan. Itu bukanlah sepak bola mewah yang dipuja-puja oleh Gazza; tidak ada sentuhan pertama yang luar biasa, tidak ada penurunan bahu, tidak ada umpan silang yang meliuk-liuk. Yang ada hanyalah kegigihan dan profesionalisme seorang pesepakbola yang terlahir kembali.. 

Momen ini merupakan indikasi dari dua musim pertama Gascoigne yang tinggal di utara perbatasan. Kesuksesan Rangers yang terus berlanjut tak terbantahkan berkat keberuntungan sang playmaker bintang mereka. Sebagai kekuatan pendorong dari lini tengah, Rangers memiliki seorang pria yang dapat menginspirasi, menyenangkan, dan menghibur dalam ukuran yang sama. Ketika ia tidak sedang menciptakan peluang bagi rekan-rekannya dengan lari cepat dan umpan-umpan cekatannya, ia memikul beban untuk mencetak gol. Seperti ketika Gascoigne mencetak hat-trick ke gawang Kilmarnock dan Motherwell, dan penampilannya membantu Rangers meraih dua kemenangan beruntun. 

Untuk pertama kalinya sejak 1991, dia diakui sebagai pemain terbaik di liga domestik, dengan meraih Pemain Terbaik PFA Skotlandia dan Pemain Terbaik SFWA. Paul Gascoigne telah kembali dengan penuh percaya diri. 

Bangkit dari Keterpurukan, Alkohol Masih Jadi Momok untuk Gascoigne

Paul Gascoigne ketika membela klub Skotlandia Rangers FC.

Meski telah lolos dan mampu bangkit dari keterpurukan di Italia, yang sempat mengancam karirnya jatuh ke dalam jurang, kembalinya Gascoigne ke performa terbaiknya di Skotlandia bukannya tanpa rintangan. 

Manajer Rangers kala itu, Walter Smith, semakin khawatir dengan ketergantungan sang pemain bintangnya akan alkohol. Yang mana alkohol memang menjadi sebuah masalah yang akan terus mengganggu Gascoigne selama sisa karirnya. Bahkan Gascoigne sempat dituding mengidap masalah kesehatan mental yang sudah membekas sejak lama, karena dia melakukan aksi tidak terpuji yang membuatnya menerima ancaman pembunuhan dari IRA – sebuah gerakan separatis di Irlandia-.

Setelah mencetak gol dalam derby Old Firm pada tahun 1998, Gascoigne membuat marah para penggemar Celtic – Bhoys – ketika dia menirukan permainan seruling dalam selebrasi, dia mendapatkan ganjarannya. Dia didenda 20 ribu poundsterling dan musim yang sudah tidak terlalu bagus, segera berubah menjadi aib. Rangers bahkan mengakhiri musim tanpa trofi dan Gascoigne pun dilepas ke Middlesbrough di musim panas mendatang. 

Tiga musimnya di Skotlandia, Gascoigne memang sekali lagi berhasil membangkitkan kembali karirnya yang bisa dibilang mati suri. Dia membantu Rangers mengangkat dua trofi Liga Skotlandia, dua Piala Skotlandia, mencetak 39 gol yang membuatnya mendapat tempat di skuat Inggris untuk Euro 1996. Hingga mencatatkan namanya dalam sejarah Inggris dengan penampilannya yang memukau di luar negeri. 

Faktanya, untuk seorang pemain yang sering dianggap sebagai salah satu yang paling berbakat di tanah Inggris, Gascoigne punya perbedaan mencolok, yang memainkan sebagian besar karirnya hampir satu dekade, di klub-klub luar Inggris. 

Perjalanannya ke Skotlandia menjadi yang terakhir kalinya dia bermain di level tertinggi, namun jika kamu bertanya kepada Ally McCoist, versi terbaik dari Gascoigne, tentu saja akan dijawab ketika bermain untuk Rangers. Bahkan McCoist pernah mengatakan bahwa 1000 persen, Gascoigne layak masuk ke dalam Hall of Fame – kumpulan legenda sepak bola Skotlandia -.