Mark Hughes
Mark Hughes, legenda sepak bola Wales dan Inggris, yang punya kisah unik di Bayern Munchen.

Kisah Unik Mark Hughes di Bayern Munchen, Main Dua Kali dalam Waktu Sehari

Posted on

Bulan April 1985, ketika Barcelona harus kehilangan trio penyerang andalannya yakni Victor Munoz, Julio Alberto dan Gerrado Miranda. Ketiganya harus bermain untuk negaranya masing-masing di Kualifikasi Piala Dunia. Momen inilah yang jadi titik mula kisah unik dan ikonik milik Mark Hughes.

Spanyol, saat itu baru saja telan kekalahan di Inggris oleh Skotlandia pada November 1984 di Hampden Park yang disesaki penonton. April 1985, posisi Spanyol, Skotlandia dan Wales sama-sama mengantongi empat poin. Mereka hanya memperebutkan satu tiket ke putaran final ke Piala Dunia 1986.

Pada bulan April 1985, Victor Muñoz dari Barcelona, ​​Julio Alberto dan Gerardo Miranda pergi ke Wrexham untuk kualifikasi Piala Dunia – sedikit tentatif juga. Spanyol telah dikalahkan di Inggris oleh Skotlandia pada November sebelumnya di Taman Hampden yang ramai. Pertandingan selanjutnya saat Spanyol menghadapi Wales yang diisi sekumpulan pemain muda namun secara fisik jauh di atas mereka.

Mark Hughes yang baru berusia 21 tahun benar-benar membuat repot lini pertahanan Spanyol. Padahal saat itu diisi oleh para bek unggulan seperti Andoni Goikoetxea dan Inigo Liceranzu. Malapetaka terjadi saat Wales mendapatkan set piece yang membuahkan gol kedua mereka. Mungkin bisa dibilang gol yang dicetak Mark Hughes ini kemudian menjadi salah satu momen terbaik dalam karier sepak bolanya.

“Saya ingat sekali, bola melambung tinggi masuk ke dalam kotak penalty. Saya awalnya tidak ingin menyambut bola itu, namun saya mundur sedikit dan bola mengarah ke saya dari atas. Bola itu muncul dan saya berpikir sesaat ‘kenapa tidak saya tendang saja dan lihat ke mana bola ini pergi’,” cerita Hughes kepada Independent pada 2018 lalu.

Dengan pikiran tanpa beban, pemain yang saat itu masih berseragam Manchester United itu akhirnya melayang dengan sepatu di atas kepalanya dan menyambar bola liar dengan tendangan gunting yang fenomenal. Sepakannya mengarah deras ke pojok atas gawang Spanyol dan mengukuhkan kemenangan 3-0 untuk Wales. Sayang, negaranya masih kurang poin untuk lolos ke Piala Dunia 1986 di Meksiko musim panas tahun depannya. Namun gol itu membuat Munoz, Alberto dan Gerardo mengingat Mark Hughes di dalam benak mereka sampai ketiganya kembali berjumpa di Camp Nou.

Kehidupan Mendadak Jadi Sulit untuk Mark Hughes di Barcelona

Mark Hughes
Mark Hughes, legenda sepak bola Wales dan Inggris, yang punya kisah unik di Bayern Munchen.

Sementara di Barca, situasi yang sedang menyedihkan terjadi usai kekalahan di final Piala Eropa. Pelatih saat itu pun melakukan perombakan cukup besar di pra musim, dengan mendatangkan beberapa penyerang dari tanah Britania Raya. Sepatu Emas di Piala Dunia, Gary Lineker diboyong dari Everton sementara Hughes pindah dari Manchester ke Spanyol timur laut. Kepindahan dua pemain ini membuat Catalonia menjadi akrab dengan para pemain Britania Raya dibanding sebelumnya.

Tapi setelah hanya beberapa pertandingan dan beberapa penampilan yang kurang bersemangat dari Hughes, publik Barcelona langsung menyebutnya pemain gagal. Hughes, yang merasa kesulitan untuk menetap di ibu kota Catalan, dijuluki ‘El Toro’ karena gaya permainannya yang sangat tidak cocok dengan orang-orang di sekitarnya.

Agresivitas yang mungkin dipuji di kampung halaman tidak disukai di Spanyol. Di sisi lain, Lineker, yang lima tahun lebih tua dari Hughes, beradaptasi dengan baik di LaLiga dan mulai menemukan beberapa performa terbaiknya di depan gawang.

“Gary sedikit lebih tua dan dia ada di sana bersama istrinya. Saya sendirian. Saya baru saja bertemu dengan gadis yang baru saya nikahi, jadi sulit berpisah darinya. Barcelona mengontrak Anda, membayar Anda dengan uang yang layak, tetapi setelah itu mereka lepas tangan. Tidak seperti sekarang di mana Anda memiliki orang yang mencarikan rumah, sekolah untuk anak-anak kami, mobil, semuanya. Saya tidak bisa bahasa Spanyol. Saya tidak punya mobil, jadi saya menyewa satu mobil selama tiga bulan karena saya tidak tahu di mana membelinya. Semuanya saat itu berantakan,” cerita Hughes kepada FourFourTwo pada tahun 2007 silam.

Hughes yang kurang paham dengan budaya Spanyol sejalan dengan ketidakmampuannya untuk membuat pengaruh nyata di lapangan selama berseragam Barcelona. Hanya empat gol dalam 28 pertandingan liga musim itu membuat situasinya bertambah buruk, khususnya untuk kehidupannya di luar lapangan.

Pindah ke Bayern Munchen untuk Pengalaman Gila

Mark Hughes
Mark Hughes, legenda sepak bola Wales dan Inggris, yang punya kisah unik di Bayern Munchen.

Ketika bursa transfer musim panas ada peluang untuk pindah ke Jerman, dengan minat dari Bayern Munchen, Barcelona dan Hughes pun dengan senang hati menerimanya.

“Saya sudah dikeluarkan dari skuat Barcelona selama enam bulan saat itu. Saya memiliki kontrak delapan tahun jadi saya harus menjalani enam tahun lagi dengan berlatih lalu kembali ke apartemen saya – hanya itu yang saya lakukan. Tapi saya ingin bermain dan Bayern adalah opsi sempurna.

“Bayern memiliki orang-orang sepak bola di klub yang bertanggung jawab. Uli Hoeneß memahami mentalitas para pemain. Mobil Anda langsung disediakan, Anda tahu di mana Anda tinggal, jam berapa Anda harus tiba, hal-hal non teknis seperti inilah yang membuat saya sangat nyaman di sana. Sepak bola di sana cocok untuk saya, Jerman sudah seperti rumah singgah antara sepak bola Inggris dan Spanyol, dan saya memiliki waktu yang fantastis. Bayern klub yang hebat,” ceritanya masih kepada FourFourTwo.

Bayern adalah juara bertahan Jerman dengan skuat yang berisi campuran pengalaman dan pemain muda yang seimbang. Jean-Marie Pfaff, Norbert Eder dan Klaus Augenthaler dipuji oleh Hans Dorfner, Michael Rummenigge dan Hans-Dieter Flick dalam skuad yang diasuh pelatih berpengalaman seperti Jupp Heynckes. Lalu ada orang-orang seperti Lothar Matthäus dan Andreas Brehme; keduanya berada di puncak kekuatan mereka dan di antara yang terbaik di dunia dalam posisi mereka.

Setelah mencetak gol pada laga debutnya untuk Bayern melawan Uerdingen, Hughes yang dijuluki ‘Sparky’ dijadwalkan bermain untuk Wales empat hari kemudian, di mana pada hari yang sama, Bayern menghadapi Borussia Monchengladbach. Sebelum bergabung dengan Bayern, bagaimanapun, Hughes telah mencapai kesepakatan dengan manajer umum Hoeness.

“Jam berapa kamu main untuk Wales? Pukul 16.30, oke tidak apa-apa. Kamu masih sempat bermain untuk Bayern karena kami bermain malam hari,” kata Hoeness dikutip dari Football These Times.

Hughes pun tetap terbang ke Wales untuk membela negaranya menghadapi Cekoslovakia di Kualifikasi Euro 1988, dengan ditemani oleh Hoeness yang menyaksikan langsung di Stadion Praha. Sayang, Wales harus telan kekalahan di laga tersebut. Namun, yang menarik adalah saat rekan-rekan Hughes kembali ke ruang ganti untuk bersih-bersih, dia langsung berangkat ke Bandara Bersama Hoeness. Dia saat itu juga langsung terbang menuju Munich Bersama Hoeness. Sebuah pengalaman yang gila dan unik untuk seorang pemain sepak bola professional.

Hughes akhirnya tiba di Stadion saat babak kedua baru saja dimulai, dengan kondisi Bayern tertinggal 2-0 dari Monchengladbach di ajang DFB Pokal. Dia pun langsung dimainkan saat sudah siap segalanya. Meski memang bukan dia yang menentukan kemenangan, tapi magisnya terasa sekali saat Rummenigge mencetak dua gol untuk memastikan comeback 3-2 Bayern atas Monchengladbach. Kemenangan ini mengantarkan mereka ke babak 16 besar DFB Pokal. Hughes memang tidak mencetak gol, namun bermain dua kali di dua negara berbeda, membuat masyarakat Munich menaruh rasa hormat yang tinggi atas komitmennya kepada klub. Pada akhir musim, Bayern memang harus mengaku kekalahan dari Werder Bremen dalam perburuan gelar Bundesliga. Namun Hughes benar-benar sudah dapat tempat di hati penggemar klub.

Kembali ke Manchester United dan Menerapkan Semua Pelajaran Hidupnya

Namun kiprahnya di Munchen hanya berlangsung satu musim saja saat dia memutuskan untuk kembali ke Manchester United di jendela transfer. Dia datang kembali mengenakan seragam Setan Merah sebagai pemain yang kenyang pengalaman dan juga pengetahuan yang luas. Kariernya di luar negeri saat usia masih muda, benar-benar membantunya berkembang baik itu sebagai pribadi atau pesepakbola.

Benar saja, pada periode keduanya bersama Man United, Hughes benar-benar awet dengan bermain selama tujuh musim (1988 – 1995) lamanya. Dia mencatat sebanyak 256 penampilan dengan torehan 83 gol di semua kompetisi. Setelah itu, Hughes memilih Chelsea sebagai pelabuhan berikut dalam kariernya. Tiga tahun Bersama The Blues, dia mampu mencetak hanya 25 gol dari total 95 penampilannya. Empat tahun terakhirnya bermain sepak bola, dia menghabiskan waktu singkat Bersama klub-klub seperti Southampton, Everton dan Blackburn Rovers.

Meski dia tidak bergelimang trofi seperti para pemain legendaris lainnya, kariernya Bersama dua klub terbesar Eropa, Barcelona dan Bayern Munchen benar-benar membantu pekerjaannya saat menjadi pelatih. Fans sepak bola Liga Inggris pernah mengernyitkan dahi tanda keheranan saat Hughes melatih Stoke City beberapa tahun lalu. Sebagai pelatih Stoke, dia secara mengejutkan berhasil mendatangkan para pemain dengan label tim nasional ke dalam skuatnya. Kita bisa menyebut mulai dari Bojan Krkic, Marc Muniesa dan Ibrahim Afellay yang berhasil dibujuk untuk meninggalkan Camp Nou. Tentu saja karena latar belakang Hughes yang sama dengan mereka, kurang bersinar di Barcelona.

“Pengalaman itu [di luar negeri] benar-benar membantu saya ketika saya berbicara dengan orang-orang di sini sebagai pelatih. Saya menggunakannya saat kami mencoba merekrut pemain bagus. Selalu berguna untuk mengatakan, ‘Saya dulu bermain untuk Barcelona dan Bayern Munich’,” kata Hughes saat masih jadi pelatih Stoke.

Bahkan nama besar dari Bayern, yakni Xherdan Shaqiri secara mengejutkan menerima pinangan Stoke City pada tahun 2015 lalu. Selama berseragam The Bavarians, dirinya memang jarang terpakai dan jelas saja, sebagai seorang pemain, Xhaqiri ingin membuat gebrakan kemajuan dalam kariernya. Dia pun melihat Hughes sebagai sosok yang pantas untuk membawanya ke level baru dalam permainan ini.

Shaqiri pun benar-benar membuat peremajaan dalam kariernya usai gabung Stoke dan kini, dia memiliki medali Liga Champions dalam koleksinya yang diraih Bersama Liverpool pada tahun 2018/19 lalu.

Kisah Hughes ini benar-benar menyadarkan kita bahwa kesulitan yang dialami tidak melulu terus menjatuhkan kita ke jurang yang dalam. Tanpa kita sadari, kesulitan-kesulitan tersebut akan diolah oleh alam semesta untuk menjadi sebuah bekal berarti di masa mendatang.

Hughes memang tidak banyak mencetak gol di Camp Nou atau mengangkat berbagai trofi Bersama Munchen, tapi pengalaman hidupnya jauh dari zona nyaman, benar-benar bisa dipetik untuk jadi pelajaran. Apalagi kisah uniknya saat bermain di dua negara berbeda pada hari yang sama, benar-benar pengalaman hidup yang gila!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *