Dida
Kiper legendaris AC Milan dan Brasil, Nelson Dida. (Pinterest)

Sempat Terkendala di AC Milan, Dida Kiper Brasil Terbaik di Generasinya

Posted on

Zlatan Ibrahimovic meletakkan tangannya di atas kepala tanda frustasi, sementara Andy van der Meyde berlutut lesu tak berdaya. Tepatnya menit ke-94 dari pada pertandingan grup Liga Champions antara AC Milan dan Ajax Amsterdam. Tertinggal 1-0, klub raksasa Belanda panik mencari gol penyeimbang. Sebuah umpan silang ke kotak penalti menuju Ibrahimovic, namun usahanya diblok oleh Cafu. Bola liar mengarah ke sang kapten, yang saat itu dijabat Rafael van der Vaart, yang mengarahkan bola ke gawang kosong tanpa dijaga kiper.

Dengan kiper Milan sudah bergerak dan terjatuh di lantai, tampaknya gol hampir 90 persen terjadi untuk Ajax. Namun yang terjadi adalah sebuah kejadian luar biasa hebat dari Dida, dia kembali ke posisi siap dan menepis bola keluar lapangan dengan tangan kirinya.

“Saya meyakinkan Anda bahwa ada penyelamatan yang lebih rumit dari yang saya lakukan itu,” katanya coba merendah kepada Gazzetta dello Sport seusai pertandingan.

Tapi kenyataannya sangat luar biasa untuk dipikirkan oleh manusia biasa, namun jika mengingat bakat besar sang kiper, memang tidak mengherankan.

Lahir pada Oktober 1973 di negara bagian Brasil, Bahia, pada masa kejayaan karirnya, Nelson de Jesus Silva alias Dida, adalah salah satu kiper terbaik dunia. Pengenalan Dida pada olahraga memang melalui bola tangan dan bola volid. Bakatnya untuk membalikkan servis lawan, memang sudah sangat baik. Begitu pula dengan keterampilannya dalam mengorganisir rekan-rekan setimnya. Dia bahkan membuat tim bersama saudara-saudaranya di usia 13 tahun.

Empat tahun kemudian, dia masuk ke sepak bola dan memulai debutnya untuk Cruzeiro de Alagoas, sebelum pindah ke klub kota kelahirannya Bahia, Vitoria. Tahun-tahun awalnya, dia memainkan peran utama dalam kesuksesan Timnas Brasil U-20 menjuarai Piala Dunia U-20 1993. Selain itu, dia juga memenangkan penghargaan Kiper Terbaik liga domestik ‘Bola de Prata’. Dia pun pindah ke klub lebih besar dengan skala nasional, Cruzeiro di tahun 1993. Dia berkarir di sana selama lima tahun, Dida bakal membantu tim raksasa tersebut memenangkan Copa do Brasil dan Copa Libertadores, dan dua penghargaan kiper terbaik lagi.

Pada tahun terakhirnya di Cruzeiro, dia sudah tampil untuk Timnas Brasil senior, dengan memainkan penampilan debutnya di Copa America 1995 menghadapi Ekuador. Kesempatan debut di skuat senior tim nasional datang karena kiper pilihan nomor satu, Claudio Taffarel diskors. Dia juga ikut dalam skuat Brasil yang terbang ke Atlanta untuk Olimpiade 1996. Namun sayang, dia mempermalukan dirinya sendiri saat negaranya kalah 1-0 dari Jepang. Dida tabrakan dengan Aldair, bek yang kelak juga jadi legendaris, dan membuat Jepang mencetak gol kemenangan dengan mudah. Di Piala Dunia 1998, Dida menjadi kiper pilihan ketiga. Namun Januari 1999, dia akhirnya menyatakan keinginannya untuk melanjutkan perkembangan di Eropa.

Gabung Milan, Sempat Terkendala Masalah

Dida
Kiper legendaris AC Milan dan Brasil, Nelson Dida. (Pinterest)

Saat itu, satu-satunya klub yang menunjukkan minat terang-terangan hanyalah Milan. Namun transfer dirinya ke Rossoneri membuat Cruzeiro harus ke pengadilan dalam upaya untuk membatalkan kontraknya enam bulan lebih dulu. Cruzeiro tentu saja ogah kehilangan salah satu bintang mereka, namun kesal dengan perilakunya, yang akhirnya klub memutuskan untuk membekukan Dida. 

Di mana FIFA pun memberi izin agar dirinya terbang ke Swiss dengan status pinjaman agar dapat menjaga kebugarannya. Dia hanya bermain dua kali di Swiss, transfer ke Italia akhirnya terwujud pada Mei 1999, dengan Milan membayar sekitar tiga juta euro untuk kiper berusia 26 tahun. Awal karirnya di Italia pun seperti diprediksi dan sudah kejadian di Swiss, yaitu kesulitan. Meskipun bermain di Copa America 1999 dan Brasil juara di sana, Dida lagi-lagi menjadi pilihan ketiga. 

Dia pun kembali ke Corinthians dengan status pinjaman, yang menjadikan dirinya ‘Penyelamat Tendangan Penalti’ saat dia menggagalkan dua tendangan penalti di pertandingan semifinal Campeonato Brasil 1999. Ada juga penyelamatan tendangan penalti Gilberto dari Vasco di babak final Piala Dunia Antarklub pertamanya.

Dia pun kembali ke Milan pada musim 2000/2001 dan memainkan debutnya di Liga Champions dalam kemenangan 4-1 atas Besiktas, September 2000. Kurang dari sepekan, dia pun bermain kontra Leeds United, di mana dia membuat kesalahan fatal saat kebobolan tendangan jarak jauh dari Lee Bowyer. AC Milan kalah 1-0 kala itu.

Skandal paspor palsu 2001 yang mengguncang sepak bola Italia mengakhiri musim pertamanya. Dengan dirinya terduga bersalah karena dokumentasi asal Portugal, dipalsukan. Dia mendapat larangan oleh UEFA untuk bermain di liga-liga Eropa selama satu musim dan kembali dipinjamkan ke Corinthians.

Kembali lagi ke AC Milan di tahun 2002, Dida masuk menggantikan Christian Abbiati yang cedera di kualifikasi Liga Champions menghadapi tim asal Ceko, Slovan Liberec. Carlo Ancelotti pun mengaku sangat terkesan dengan penampilan kiper asal Brasil itu dalam kemenangan timnya 1-0. Sejak saat itu, Dida pun mengukuhkan posisinya sebagai opsi pertama. Di musim pertamanya bersama Rossoneri sejak kembali kedua kalinya, dia Cuma kebobolan 30 gol dan mempersembahkan trofi Coppa Italia dan Liga Champions untuk AC Milan.

Pada final Liga Champions, Dida sangat menentukan kesuksesan AC Milan. Skuat asuhan Ancelotti benar-benar mendominasi pertandingan menghadapi rival senegara, Juventus. Namun hasil imbang tanpa gol tidak berubah selama 90 menit dan perpanjangan waktu 2×15 menit. Laga ini ditentukan lewat adu penalti dan disinilah Dida menunjukkan kualitasnya. Secara mengejutkan, dia menghempaskan tiga tendangan penalti Juventus yang dieksekusi oleh para pemain top seperti David Trezeguet, Marcelo Zalayeta dan Paolo Montero. Milan memenangkan gelar Liga Champions keenam dalam sejarah mereka. Usai pertandingan, Marcello Lippi selaku pelatih Juventus saat itu, mengakui reputasi Dida sebagai bintang besar.

Menutup musim penuh dengan gelar pertamanya untuk Milan, di mana dirinya juga masuk nominasi Ballon d’Or, harus finish urutan ke-13 dalam daftar kandidat pemain terbaik dunia. Sebelum pengumuman hasil Ballon d’Or tersebut, dia berusaha rendah hati dengan mengatakan: “Saya tidak punya peluang untuk menang karena ada banyak pemain hebat dalam nominasi, tapi masuk daftar ini saja, saya sudah merasa terhormat.”

Memang benar, Dida merupakan kiper asal Brasil yang pertama yang masuk dalam nominasi Ballon d’Or saat itu. Sebelum masa kini, dengan adanya kiper top seperti Alisson dan Ederson, mungkin hanya Dida-lah yang menjadi tumpuan untuk Timnas Brasil.

Juara Serie A Italia Bersama AC Milan

Musim 2003/04, AC Milan lebih baik di liga domestik alias Serie A Italia dengan menjadi juara, Scudetto pertama untuk Dida. Dia kembali menorehkan rekor sebagai pemain Brasil pertama yang memenangkan penghargaan Kiper Terbaik Serie A Italia dengan catatan kebobolan 20 gol sepanjang musim itu. Dengan ini, Dida makin membuat dirinya diakui sebagai salah satu kiper top dunia kala itu.

Musim selanjutnya, di giornata pertama Serie A Italia 2004/05, Dida harus menerima kenyataan pahit diusir keluar lapangan kontra Livorno. Namun setelah itu, dia bangkit dengan penampilan luar biasa hanya kebobolan 10 gol, saat Milan juga cuma kalah sekali dalam 18 pertandingan beruntun. Musim ini, meski punya penampilan luar biasa, Dida dan AC Milan benar-benar anti-klimaks. Mereka finish di posisi runner-up dengan terpaut tujuh poin dari Juventus yang menyegel gelar juara Serie A Italia 2004/05. Lebih sialnya lagi, pada pertandingan final Liga Champions, ketika Liverpool bangkit dan menyamakan kedudukan padahal Milan sudah unggul 3-0 lebih dulu. Rossoneri harus tersungkur lemas, saat Liverpool memenangkan trofi kuping besar lewat babak adu penalti.

Terlepas dari kekalahan menyakitkan di Final Istanbul 2005, Dida mengakhiri tahun tersebut dengan dinobatkan pertama kali sebagai FIFA Team of the Year. Dia juga berada dalam posisi kedua untuk penghargaan kiper terbaik sepanjang masa dari IFFHS.

Musim berikutnya, sayang sekali dia mengawali perjalanannya bersama Milan dengan kikuk. Pada awal Januari 2006 misalnya, dia tidak bisa menghalau tendangan sudut yang akhirnya ditanduk oleh Paolo Cannavaro dan membuka skor untuk Parma. Meski begitu, Milan masih menang atas Parma, walau dengan skor yang menjelaskan penampilan Dida, yakni 4-3. Sebulan kemudian, Dida salah mengantisipasi tendangan jarak jauh saat menghadapi Sampdoria, di mana Andrea Gasbarroni berhasil membuat skor imbang 1-1. Penampilannya di musim 2005/06, sampai membuat Dida mendapat ultimatum dari pelatih Brasil, Carlos Alberto Parreira, akan dicoret dari skuat Selecao untuk Piala Dunia 2006.

Seperti yang sudah kita ketahui, mental baja Dida berhasil merespons ultimatum tersebut dengan penampiilan yang sedikit membaik. Dia bahkan bisa membawa AC Milan mencapai semifinal Liga Champions, hanya kalah dari Barcelona yang akhir kompetisi menjadi juara. Akhirnya, Dida berangkat ke Piala Dunia Jerman 2006, jika sebelumnya hanya jadi pelapis, dia kini menjadi nomor satu yang tidak tergeser. Namun, Brasil harus tersingkir dari Prancis di perempatfinal, yang membuat skuat ini mendapat banyak kritikan mengingat bakat luar biasa yang dimiliki. Tapi Dida menjadi salah satu dari sedikit pemain yang lolos dari kritikan. Dia hanya kebobolan dua gol dalam lima pertandingan.

Bulan Oktober setelah Piala Dunia 2006, dengan total 91 penampilan untuk Timnas Brasil, penampilan terbanyak ketiga sepanjang sejarah negaranya, Dida mengumumkan pensiun dari tim nasional. Mundurnya dia telah membuka pintu untuk kiper-kiper yang lebih muda seperti Julio Cesar, Alisson dan Ederson, semuanya juga sukses di Eropa.

Tampil Buruk, tapi Bangkit dan Juara Liga Champions

Dida
Kiper legendaris AC Milan dan Brasil, Nelson Dida. (Pinterest)

Sebulan setelah dia pensiun dari tim nasional, Dida mengalami cedera lutut saat Milan kalah 1-0 dari AEK Athens, yang membuatnya absen hampir dua bulan. Sekembalinya dia dari cedera, kualitasnya seperti hilang menguap begitu saja. Terlihat saat dia dengan mudah kebobolan dengan sepakan jarak dekat saat Milan bermain imbang 2-2 kontra Bayern Munchen. Dia kemudian juga kebobolan dua gol lagi dengan mudahnya saat leg pertama semifinal kontra Manchester United. Dia mulai mendapat kritikan dari para fans Milan.

Namun leg kedua semifinal Liga Champions, dia berhasil menebus penampilan buruknya di leg pertama, dengan mencatat clean sheet saat Milan menang 3-0. AC Milan berhasil melaju ke final Liga Champions 2007, sebuah kesempatan terakhir untuk karir Dida yang mulai senja. Benar saja, Milan yang kembali bertemu dengan Liverpool di final, berhasil balas dendam dan menang dua gol berkat brace Filippo Inzaghi.

Namun serangkaian penampilan buruk di Liga Champions 2007, meski Milan juara, tetap menjadi indikasi kejatuhan karir Dida. Januari 2008 yang mungkin tidak akan dilupakan oleh fans Milan, saat Dida malah melompat ke bawah seolah menyingkir dari tembakan keras Esteban Cambiasso.

Kiper yang sering masuk nominasi Ballon d’Or itu mulai berubah menjadi seorang pemain yang gugup di atas lapangan. Bahkan para fans Milan menyebutnya Milan Didastro, plesetan dari kata ‘bencana’ dalam bahasa Italia.

Karirnya makin terpuruk selain penampilan buruk, masalah punggung dan lutut terus menghampirinya secara berkala. Kembalinya Christian Abbiati dari masa pinjaman di Atletico Madrid, membuat Dida menghabiskan sebagian besar musim 2008/09 sebagai kiper nomor dua. Pada pra-musim jelang kompetisi 2009/10 bergulir, Dida bahkan mengalami cedera lanjutan yang membuatnya harus absen. Ini membuat dirinya bahkan menjadi cadangan setelah kiper ketiga Milan, Marco Storari. Dia sempat diberikan kesempatan, namun lagi-lagi penampilannya memalukan.

Kembali ke Brasil dan Pensiun pada 2015

Dida
Kiper legendaris AC Milan dan Brasil, Nelson Dida. (Pinterest)

Musim panas 2010 pun Dida memutuskan untuk hengkang dari San Siro, di mana kontraknya juga memang habis. Dia sebenarnya masih berusaha untuk mencari peruntungan di tanah Eropa, yang membuat dirinya tanpa klub hampir dua tahun. Akhirnya pada Mei 2012, dia rela pulang ke Brasil dan bergabung dengan Portuguesa.

Kemudian ada juga masa singkat di Gremio, lalu Internacional, di mana di klub terakhir, dia menjadi kiper pertama setelah kepergian Alisson ke AS Roma.

Penampilan terakhir Dida tercipta saat usianya menginjak 41 tahun pada April 2015. Selain menjadi pemain tertua dalam sejarah Internacional, Dida juga menjadi penjaga gawang berkulit hitam pertama dalam kurun waktu 43 tahun. Begitu juga di Timnas Brasil sebenarnya, dia menjadi penjaga gawang pilihan pertama yang berkulit hitam untuk 56 tahun terakhir.

Terlepas dari akhir karirnya di Eropa yang terbilang memalukan, pelatih legendaris asal Brasil, Luiz Felipe Scolari tetap memujinya.

“Dia pergi ke Eropa, bermain di salah satu tim terbesar dunia dan jadi kiper pertama, itu jelas membuka pintu untuk pemain-pemain lain di posisinya. Dia adalah pelopor yang berusaha untuk mendobrak hal-hal yang tidak biasa,” kata Scolari.

Dida memang pantas dikenang lebih dari sekadar kiper top. Kesalahan-kesalahan receh yang dia tunjukkan di akhir karirnya, tidak mengubah pandangan itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *