by

Rafinha: 18 Trofi, Juara Kompetisi Dua Benua, yang Sering Terlupakan

Sepak bola dunia sudah memiliki nama-nama unik dan melegenda seperti Tevez, Dida, Ronaldinho, Neymar, Cristiano Ronaldo hingga Lionel Messi. Mudah sekali untuk mendapatkan informasi tentang mereka di internet. Tapi jika menelusuri satu nama yang akan dibahas di bawah ini, mesin pencari tentu akan kembali bertanya ‘Siapa Sebenarnya yang Anda Maksud?’. Tidak percaya? Coba kamu ketik nama pemain yang akan kita bahas, ‘Rafinha’. 

Ya, nama ini memang sangat umum di kalangan pesepakbola Brasil dari generasi ke generasi. Namun, untuk Rafinha dalam artikel ini, harusnya ada pengecualian. Rafinha yang kita bahas sekarang adalah pemain yang berhasil taklukkan dua benua, ditandai dengan medali emas turnamen benua seperti Liga Champions dan Copa Libertadores (kompetisi benua Amerika Latin).

Nama lengkapnya adalah Marcio Rafael Ferreira de Souza atau biasa disapa Rafinha. Tentu saja ini berbeda dengan Rafinha, alias Rafael Alcantara do Nascimento, adik dari Thiago Alcantara. Sekali lagi, pemain yang akan kita bahas ini adalah Rafinha yang berbeda.

Pada tahun 2005 silam, dia merupakan pemuda yang baru berusia 19 tahun dengan rambut acak-acakan yang diperkenalkan Schalke dengan transfer permanen dari klub Brasil, Coritiba. Pemain yang berposisi sebagai bek kanan ini didatangkan dengan nilai transfer sebesar 5 juta euro. Saat itu Rafinha dinilai punya bakat besar, dengan atribut menonjol yang dimiliki para bek sayap berkualitas, seperti; kecepatan, kemampuan passing dan kemampuan bertahan. Atribut-atribut itulah yang membuatnya memborong dua gol saat mengantarkan Brasil menempati tempat ketiga terbaik di Piala Dunia U-20 2005 di Belanda.

Berkat penampilannya yang mengesankan di Piala Dunia U-20, namanya pun mulai dikenal di Eropa secara luas. Rafinha pun berhasil diyakinkan untuk gabung Schalke dikarenakan kesempatan bermain yang lebih banyak, dan juga keberadaan rekan senegaranya, Lincoln dan Marcelo Bordon. Apalagi ada striker berkebangsaan Jerman yang lahir di Brasil, Kevin Kuranyi.

Menjejakkan Kaki Pertama Kali di Eropa

Rafinha saat pertama kali menjejakkan kakinya di Eropa dengan gabung klub LIga Jerman Schalke 04.

Bek kanan ini sebenarnya tidak punya awal yang begitu menjanjikan juga di Schalke. Ralf Rangnick yang saat itu jadi pelatih Schalke, lebih sering memainkan Christian Poulsen dan Hamit Altintop di pos bek kanan. 

Akibatnya, Rafinha baru muncul untuk penampilan debutnya saat laga ketiga Bundesliga Jerman musim 2005/06, hanya dari bangku cadangan selama sembilan menit terakhir pertandingan. Setelah absen pada pekan berikutnya di laga kontra Bayer Leverkusen, Rafinha pun secara mendadak menjadi opsi pertama di bek kanan di sisa pertandingan Bundesliga musim itu, kecuali saat kartu merah di bulan April 2006.

Mungkin yang membuat para fans dan pelatih pengganti Rangnick, Mirko Slomka berubah pikiran adalah sikap Rafinha. Seperti kebanyakan orang Brasil di Jerman, Rafinha awalnya kesulitan dengan iklim dan bahasa, meski begitu, dia tetap menundukkan kepalanya dan bekerja keras di atas lapangan. Begitu baru sampai di Jerman, dia pun membuktikan sikap dan mental baja dengan komentar “Saya tidak takut,” maksudnya adalah terhadap perbedaan budaya di Eropa.

Mungkin sikap ini berasal dari latar belakang keluarganya yang jauh dari kata kemudahan. Keluarganya hidup dalam kemiskinan yang benar-benar rendah, orang tuanya sangat kesulitan menghidupi Rafinha kecil dan juga saudara-saudaranya. Kemudian pada usia 15 tahun, dia harus pindah sekitar 400 km dari daerah kelahirannya di Londrina ke Coritiba.

Keadaan ternyata tidak kunjung membaik di usia 16 tahun, saat Rafinha harus melihat ayahnya meninggal. Sosok ayah ini pun terus melekat dalam hatinya, bisa dilihat saat sang pemain menangis di atas lapangan ketika dirinya memenangkan trofi Liga Champions bersama Bayern Munchen.

Musim pertama Rafinha di Jerman pun langsung seperti menuju kejayaan, dengan Schalke finish di posisi keempat dan berhasil menembus babak semifinal Liga Europa. Musim berikutnya, peningkatan lebih besar terjadi pada karir sang pemain, dia mencetak gol pertamanya di tanah Eropa pada akhir November 2006 saat mengalahkan Bochum, membantu Schalke tetap di puncak klasemen sementara Bundesliga. Perebutan gelar berlanjut hingga matchday terakhir musim tersebut, meski Rafinha cs harus puas dengan posisi runner-up liga, mereka patut berbangga. Mereka di posisi runner-up dengan hanya selisih dua poin dari Stuttgart yang menjadi juara liga musim 2006/07.

Meski gagal mengantar klubnya jadi juara, Rafinha mulai dipandang sebagai salah satu bek sayap terbaik di Bundesliga Jerman. Ada beberapa minat datang dari klub yang lebih besar, namun dia tidak mau gegabah, lagi-lagi sikap dan mental yang luar biasa. 

Dia tetap bertahan bersama Schalke, menandatangani perpanjangan kontrak pada Maret 2007. Penampilan gemilangnya di level klub pun mengantarkannya pada pemanggilan pertama kalinya ke skuat senior Brasil di Maret 2008. Dia menggantikan Dani Alves untuk laga debutnya pada 20 menit terakhir pertandingan persahabatan menghadapi Swedia. Sayang, dia harus menanti enam tahun lagi untuk mendapat pemanggilan berikutnya, tapi bukan berarti penampilannya di level klub menurun.

Schalke bersama Rafinha bangkit dari rasa sakit gagal juara Bundesliga dengan tiket lolos ke Liga Champions di musim 2007/08. Namun satu masalah terjadi, dia menentang perintah klub yang melarangnya bermain untuk Brasil di Olimpiade Beijing. Setelah absen 35 hari pra-musim karena keikutsertaan di skuat Brasil untuk Olimpiade, Rafinha harus didenda sebesar 700 ribu euro karena melanggar klausul kontraknya.

Rafinha yang tidak mau tinggal diam dan melihat bahwa dia memasuki tahun terakhir dalam kontraknya, memutuskan pindah secara mengejutkan ke Genoa pada musim panas 2010. Klub Serie A Italia itu membayar sejumlah sembilan juta euro untuk mendapatkan punggawa Timnas Brasil itu. Kurang dari setahun kemudian, Presiden Genoa, Enrico Preziosi menyatakan bahwa sang pemain terlalu bagus untuk klub, dan tidak menghalanginya pergi jika ada minat yang datang.

Kembali ke Jerman dan Angkat Trofi Liga Champions Eropa

Rafinha saat memenangkan trofi Liga Champions bersama Bayern Munchen.

Dia pun kembali ke Jerman setelah perjalanan singkat di Italia dengan bergabung bersama mantan rekan setimnya di Schalke, Manuel Neuer di Bayern Munchen. Niatan Bayern mendatangkannya agar Philipp Lahm kembali ke posisi aslinya, bek kiri. Di musim pertamanya sebagai pemain Bavarian, bek sayap bertubuh 172 cm itu bermain sebanyak 35 kali di semua kompetisi, dengan Bayern harus merelakan trofi Bundesliga ke Borussia Dortmund di akhir musim.

Tapi musim berikutnya, ada yang berubah saat David Alaba muncul kembali usai pinjaman semusim di Hoffenheim. Tapi kemunculan David Alaba sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, karena pemain asal Austria itu lebih sering digunakan di lini tengah oleh Jupp Heynckes. Yang menjadi masalah adalah serangan influenza yang membuat Rafinha harus absen sebulan penuh pada Maret 2012. Lahm kembali ke pos bek kanan dan Alaba digeser menjadi bek kiri untuk mengisi kekosongan. Sekembalinya fit untuk bermain, segala sesuatu berubah, tidak benar-benar sama khususnya untuk Rafinha.

Musim 2012/13 juga bertambah buruk untuk Rafinha yang harus mengalami cedera ligament di pra-musim. Cedera ini membuat Rafinha tidak bisa bermain hingga awal Oktober. Namun sebelum cedera itu, nasibnya di Bayern Munchen sudah terpatri. Dengan Lahm di bek kanan dan Alaba di bek kiri. Rafinha pun harus menerima bahwa dirinya kini lebih terkenal sebagai pemain cadangan, atau sering dimasukkan sebagai pemain pengganti saja.

Namun di posisi inilah dirinya mulai dilihat publik, menjadi sosok pengganti jika Alaba atau bahkan Lahm cedera atau diistirahatkan. Tidak ada rasa malu saat dia menjalankan peran tersebut di Bayern Munchen. Terlepas dari spekulasi yang berdatangan soal masa depannya dan sering duduk di bangku cadangan, Rafinha masih bisa mencatat 26 pertandingan, yang membantu Bayern Munchen meraih treble yakni juara Bundesliga, DFB-Pokal dan Liga Champions sekaligus. Torehan bersejarah karena pertama kali dalam karirnya bermain sepak bola. Sayang, pada final Liga Champions, dirinya hanya duduk di bangku cadangan.

Hingga di musim panas 2013, kedatangan Pep Guardiola mengisi kursi pelatih yang ditinggalkan Jupp Heynckes memberi angin baru untuk karir Rafinha di Allianz Arena. Dengan Lahm diberikan posisi baru, yakni gelandang bertahan, Rafinha pun menjadi opsi pertama Guardiola di pos bek kanan. Musim 2013/2014, Bayern mempertahankan gelar juara Bundesliga dan DFB-Pokal, dengan Rafinha memainkan 28 pertandingan dan 120 menit di final turnamen nasional. Dilengkapi tujuh assist di Bundesliga, menjadi bukti bahwa dirinya memang layak dikenang lebih dari sekadar pemain yang suka duduk di bangku cadangan.

Selama Guardiola di Allianz Arena, segala sesuatunya berjalan dengan baik untuk Rafinha. Bek kanan Brasil itu menghabiskan musim berikutnya edisi 2014/15 sebagai langganan starter di posisi bek kanan. Bayern pun kembali mempertahankan gelar liga mereka. Kepergian Guardiola di musim panas 2016 pun, Rafinha masih jadi langganan dengan 28 penampilan di bawah asuhan Carlo Ancelotti..

Pemecatan Ancelotti pada akhir September 2017 membuat Heynckes kembali ke kursi pelatih. Heynckes yang menjadi pelatih yang mendatangkannya dari Genoa enam tahun yang lalu, masih melihatnya sebagai pemain hebat. Meski beberapa bulan absen, Rafinha pun mampu mencatat sebanyak 39 pertandingan di semua kompetisi musim 2017/18, Bayern lagi-lagi menjuarai Bundesliga Jerman.

Sayang sekali, musim 2018/19 alias tahun terakhirnya di Eropa, porsi bermain benar-benar terpangkas. Dia kembali menjadi langganan di bangku cadangan dan hanya masuk sesekali karena David Alaba yang mulai rutin mengisi pos bek sayap. Sebelum hengkang pada musim panas 2019, dia masih mampu menyelesaikan musim 2018/19 dengan total 26 pertandingan, termasuk ikut serta membantu Bayern merengkuh gelar ketujuh Bundesliga beruntun mereka. Meski pergi bersamaan ketika Arjen Robben dan Franck Ribery cabut dari Allianz Arena, banyak yang lupa dirinya merupakan pemain yang sama pentingnya, mengangkat gelar bersama-sama duo winger legendaris milik Bayern Munchen itu.

Rafinha Pulang ke Brasil untuk Menaklukkan Amerika Selatan

Rafinha saat mengangkat trofi Copa Libertadores (Liga Champions Amerika Selatan) bersama Flamengo.

Pulang ke Brasil setelah 14 musim yang emosional di tanah Eropa, terasa sangat mengharukan. Terlebih lagi dia bergabung dengan klub idolanya semasa kecil, yakni Flamengo. Meski datang di pertengahan musim, Rafinha langsung menegaskan dirinya sebagai pilihan pertama di pos bek kanan. Debutnya mewarnai kemenangan telak 6-1 atas Goias, sebuah hasil pertandingan yang memang sudah diprediksi.

Flamengo saat itu memang dihuni para pemain yang sudah malang-melintang di tanah Eropa. Seperti Diego Alves, Diego Ribas dan Filipe Luis, Rafinha pun sangat mudah menyelesaikan targetnya membawa Flamengo meraih trofi.

Dia memulai perjalanan di Copa Libertadores yang sudah berjalan setengah, tepatnya di babak 16 besar. Flamengo juga sempat kalah 2-0 dari wakil Ekuador, namun tetap berhasil ke babak selanjutnya melalui adu penalti. Babak selanjutnya, mereka harus mengalahkan sesama wakil dari Kota Porto Alegre, Internacional di perempatfinal, lalu Gremio di semifinal, untuk membawa Flamengo ke final Libertadores pertamanya dalam 38 tahun terakhir.

Mereka berhadapan dengan juara bertahan Copa Libertadores, River Plate dengan format final yang kali pertama diadakan satu leg saja (sebelumnya dua leg). Pertandingan final baru berjalan 14 menit saat River Plate unggul 1-0. Hampir 90 menit bergulir, kedudukan 1-0 untuk keunggulan wakil Argentina itu tetap bertahan. 

Namun sampai Gabriel Barbosa mencetak gol menit ke-89 untuk menyamakan kedudukan dan satu menit kemudian kembali menyarangkan bola di gawang, yang membuat laga berakhir dengan skor 2-1. Tentunya untuk kemenangan Flamengo, gelar juara Libertadores kedua, sebuah kemenangan yang sangat dramatis.

Tidak lama setelah momen juara Libertadores tersebut, mungkin hanya lewat dari 24 jam kemudian, klub juga dipastikan mengunci gelar Serie A Brasil. Kepastian gelar juara liga ini keluar usai Gremio mengalahkan Palmeiras, pesaing terdekat di matchday terakhir. Berusia 34 tahun kala itu, Rafinha telah menunjukkan kegigihannya dalam mengejar trofi di setiap kesempatan.

Dia sekarang menjadi pemain kesepuluh bersamaan dengan para pemain nama besar lain seperti Neymar atau Ronaldinho yang memenangkan gelar juara turnamen benua, yakni Eropa dan Amerika Selatan. Sebuah kehormatan yang jarang dipandang tinggi oleh publik. Meskipun namanya seringkali membuat mesin pencarian internet bingung, karirnya yang begitu luar biasa harusnya jadi pembeda. 

Sebelum artikel berakhir, mungkin tips untuk kalian yang ingin mencari profil Rafinha. Ketik saja di mesin pencarian “Rafinha, pemenang Liga Champions dan Libertadores, 18 trofi bersama Bayern Munchen”. Internet akan langsung mengarahkan kalian pada semua ulasan karir luar biasa dari sang bek sayap, termasuk artikel ini.