by

Mengulik Cara Mudah Graeme Souness Menaklukkan Italia bersama Sampdoria

Pada medio 1980-an, terdapat pesepakbola hebat bernama Graeme Souness yang menghabiskan sebagian besar karir bermainnya di luar negaranya. Sebagai orang Skotlandia, dia secara teknis menghabiskan hampir seluruh karirnya dengan merantau, membuat namanya terkenal di Middlesbrough dan Liverpool. Tapi dia juga pernah bermain di tempat yang lebih jauh, seperti di Montreal (Kanada) dan Adelaide (Australia). Bepergian dan melihat dunia jelas merupakan sesuatu yang menarik bagi anak yang lahir di Edinburgh ini – yang mana nantinya membawanya ke Sampdoria.

Ini adalah tugas luar negeri pertama dalam karier sang gelandang, saat ia berangkat ke Italia setelah enam tahun yang sukses bersama Liverpool. Di klub Merseyside itu, dia juga sudah menjadi kapten salah satu tim hebat di sepak bola Eropa. Bagi sebagian orang, kepergian ini mungkin mengkhawatirkan, namun bagi Souness, ini adalah kesempatan untuk berkembang. 

“Saya pergi ke sana dan saya merasa mudah. Saya merasa sepak bolanya mudah. Itu sedikit lebih lambat. Tidak ada banyak tekanan. Tekanan seperti di permainan bola Inggris. Di sana, untuk pemain lini tengah, Anda bisa mendapatkan bola jauh lebih mudah karena mereka akan mundur dan mundur ke daerah mereka sendiri dan membiarkan Anda menguasai bola,” katanya kepada Graham Hunter di The Big Interview Podcast

Namun, bukan kesempatan untuk unjuk gigi yang membawanya ke Serie A, melainkan faktor finansial. Istrinya pada saat itu akan mewarisi sejumlah uang dan cara pembagiannya membuat dia harus meninggalkan negara tersebut. Jadi, legenda Liverpool ini secara aktif mencari tempat tinggal di luar negeri dan Sampdoria cocok untuknya.

Sampdoria kala itu, adalah sebuah klub yang sedang naik daun, dipimpin oleh pemilik mereka yang ambisius, Paolo Mantovani. Mereka telah memenangkan promosi ke Serie A pada tahun 1982 dan finis di posisi ketujuh dalam dua musim beruntun pada 1982/83 dan 1983/84. Terlebih lagi, mereka telah mendatangkan pemain-pemain dari Inggris dan Irlandia, yakni Trevor Francis dan Liam Brady. Dengan Brady yang akan hengkang ke Inter pada musim panas 1984, Blucerchiati mencari penggantinya dan ada keinginan untuk mendatangkan pemain dari luar negeri; seseorang yang memiliki pengalaman untuk membimbing pemain muda seperti Roberto Mancini, Gianluca Vialli, dan Pietro Vierchowod.

Musim Pertama Sounees Langsung Mencatat Sejarah di Italia

Graeme Souness ketika membela Sampdoria dalam laga lanjutan Serie A Italia kontra AC Milan pada musim 1984/85.

Di sinilah nama Souness muncul, namun tidak sebelum Trevor Francis merekomendasikan perekrutan Bryan Robson. Rekomendasi tersebut tidak pernah mencapai kata sepakat, sehingga perhatian kemudian beralih ke Souness. Yang kemudian berhasil mereka datangkan dari Liverpool dengan harga £650,000. Beberapa menit setelah mendarat di Genoa, dia dibawa ke kantor klub di mana ada sekitar 3.000 penggemar yang menunggu di luar untuk menyambutnya. 

Musim pertama di Italia berjalan dengan gemilang bagi Souness dan tim. Sang gelandang mencetak gol dalam debutnya di Serie A melawan Cremonese, satu-satunya gol dalam kemenangan 1-0 Sampdoria di giornata pertama musim 1984/85. Dia memiliki bakat untuk mencetak gol dalam pertandingan-pertandingan penting, tidak hanya di Samp tetapi juga sepanjang kariernya. Pada musim 1984/85, ia juga mencetak gol kemenangan melawan AC Milan di liga, mencetak gol ke gawang Roma di Stadio Olimpico, dan mencetak gol lainnya ke gawang Juventus yang masih diperkuat Michel Platini. 

Tim asal Genoa itu finish di posisi keempat di klasemen Serie A Italia di musim perdana Souness, sekaligus musim terbaik mereka di liga sepanjang sejarah klub. Yang lebih baik lagi di Coppa Italia, Sampdoria benar-benar menjadi raja. Sejalan dengan kepiawaiannya yakni mencetak gol-gol penting, Souness menjadi pencetak gol tunggal dalam kemenangan 1-0 Sampdoria atas AC Milan di leg pertama final. Di stadion ikonik dan sarat sejarah sepak bola seperti San Siro, Souness menjadi pemain yang dieluk-elukkan ketika dia menyambut bola rebound dan menempatkannya ke pojok bawah gawang yang dijaga Giuliano Terraneo. 

Tangannya diangkat ke udara dan tak lama kemudian trofi Coppa Italia pun diraih ketika Il Samp unggul agregat 3-1 usai leg kedua. Ini merupakan Coppa Italia pertama yang dimenangkan Sampdoria di hadapan pendukungnya sendiri di Stadio Luigi Ferraris. Jika Souness mencetak satu gol di leg pertama, Mancini dan Vialli mencetak masing-masing satu gol pada leg kedua. Tiga pemain ikonik yang akan terus dikenang para tifosi Sampdoria. 

Namun, musim berikutnya tidak sesukses musim sebelumnya, bahkan bisa dibilang segala sesuatunya berjalan sulit untuk Sampdoria. Mereka hanya finish di urutan ke-11 di Serie A Italia yang berisikan 16 tim. Sementara itu, mereka berhasil kembali masuk final Coppa Italia untuk kedua kalinya secara beruntun. Namun mereka kalah dari Roma, yang meraih kemenangan 3-2, Souness tidak bermain semenit pun di kedua leg final tersebut. 

Di musim tersebut, Sampdoria lolos ke Piala Winners – sekarang namanya Liga Europa – dan mengalahkan tim Yunani Larisa di babak pertama. Tapi sayang, mereka terhenti di babak kedua oleh klub raksasa Portugal Benfica. Untuk Souness, momen ini adalah kembalinya dia ke kompetisi Eropa, yang sebagian besar harus dihabiskan dengan melihat Liverpool mencapai final Piala Eropa di musim pertamanya di Italia. 

Souness Cinta Italia dan Begitu Sebaliknya

Graeme Souness berhasil menaklukkan Italia bersama Sampdoria yang juara Coppa Italia.

Souness memang diikat dengan kontrak tiga tahun di Sampdoria, namun secara sadar dia merasa petualangan Calcio-nya akan segera berakhir. Karena perasaan itu, dia pun menerima tawaran yang terlalu bagus untuk ditolak, yakni dari klub negara kelahirannya Skotlandia Rangers FC. Dia pun terbang ke London untuk bertemu dengan Presiden Rangers kala itu John Payton dan Direktur Klub David Holmes, untuk menandatangani kesepakatan yang membuat Sampdoria akhirnya melepasnya dengan mahar £250.000. Dengan kesepakatan ini, babak Italia dalam karir bermain Souness pun berakhir. 

Secara keseluruhan, Souness sebenarnya menikmati waktunya di Italia. Namun seperti hampir semua yang dirasakan pemain yang pindah ke luar negeri, ada perbedaan budaya yang membutuhkan waktu untuk seorang pemain membiasakan diri. Souness pun menceritakan momen ini dalam otobiografinya yang berjudul ‘Graeme Souness – Football: My Life, My Passion’. “Kita semua pernah berlibur musim panas di negara asing, tapi untuk benar-benar pergi dan tinggal di sana dan melihat pendekatan mereka pada kehidupan, tentu itu berbeda. Itulah bagian terbesar tinggal di luar negeri, ada perubahan budaya,” cerita Souness. 

Souness mencontohkan ketika makan siang, berlatih sore hari di musim panas, rekan-rekan setim memesan sebotol anggur. 

“Ketika itu terjadi, saya keheranan ‘apa yang terjadi di sini?’. Karena kami berlatih dalam waktu tiga jam, namun hal pertama yang dilakukan adalah mengambil botol, menuliskan nama mereka di atasnya, meminumnya dan mengembalikannya. Hal-hal seperti ini bisa bertahan selama empat atau lima hari seminggu,” jelas Souness lagi. 

Tidak adanya bir yang seenak seperti di Inggris, para pemain yang mayoritas lebih memilih keju daripada steak dan tradisi menggertak tim amatir 15-0 di pramusim, adalah hal-hal yang membuat pemain asal Skotlandia itu sempat butuh waktu untuk membiasakan dirinya. Tapi Souness tidak pernah mengeluh, karena di kemudian hari, sekali lagi dia buktikan Italia merupakan salah satu negara favoritnya. Ketika Ia kembali melatih Torino pada 1997 dan beberapa tahun kemudian kembali ke Italia untuk gabung dengan salah satu televisi olahraga. 

Sebaliknya, Italia juga toh mencintai Souness. Diego Maradona, yang pernah berhadapan langsung dengan Souness, menyebutnya sebagai salah satu dari dua pemain Inggris terbaik yang pernah jadi lawannya, setelah Robson. Pujian dari sang raja Serie A sepanjang masa membuat Souness semakin dicintai para penggemar sepak bola Italia. Itulah pengaruh Souness, seorang pemain yang awalnya tidak pernah terpikir main untuk Sampdoria, namun bisa dengan mudahnya menaklukkan Italia dan mencatat sejarah bersama Blucerchiati.