Bolazola – Olimpiade 1988, Uni Soviet diyakini banyak pihak akan keluar sebagai juara dengan mudah, di semua cabang olahraga. Salah satunya sepak bola, mereka berhasil meraih medali emas di cabang olahraga ini.
Meski bersinar dengan sederet bintang seperti Igor Dobrovolski, Oleksiy Mykhaylychenko dan Arminas Narbekovas, Uni Soviet tidak menjadi sorotan. Lampu panggung malah menyorot Brasil, khususnya talenta muda bernama Romario. Kala itu, usianya masih 22 tahun dan menjadi top skorer Olimpiade 1988.
Romario sebenarnya bukan striker tidak terkenal yang tiba-tiba dipanggil Brasil untuk Olimpiade 1988. Tujuh tahun di Vasco da Gama dengan jumlah gol yang impresif, telah menjadikannya salah satu striker yang diincar klub-klub top Eropa.
Padahal ketika hendak mendaftar akademi Vasco da Gama, dia sempat ditolak karena tinggi badan di bawah rata-rata. Namun ketika diberi kesempatan, Romario membuktikan bakat besarnya dan memberikan segalanya untuk klub masa kecilnya itu. Meski dia memang jadi pemain terpendek di skuat Vasco da Gama, dia menonjol karena kecepatan, ngotot, teknis tinggi di lapangan, dan mampu melakukan hal-hal luar biasa yang tidak terduga.
PSV, Pelabuhan Pertama Romario di Eropa
Setelah impresif di Olimpiade 1988 Korea Selatan, PSV Eindhoven menjadi klub pertama yang membuat langkah konkret untuk mengamankan tanda tangan talenta luar biasa Brasil.
Tim yang memiliki julukan Rood-witten itu mengharapkan pencetak gol naluri alami dengan kemampuan beradaptasi cepat dari liga Brasil ke panggung Eropa. Benar saja, itulah yang dipersembahkan Romario ketika merumput pertama kali di Eropa, tepatnya di Belanda.
Dia juga menjadi salah satu penyerang yang punya kepercayaan diri tinggi dan keberanian yang jarang dimiliki oleh pemain muda seusianya.
Di Belanda, Romario sekali lagi mematahkan mitos bahwa orang-orang berbakat sejak lahir harus tetap kerja keras untuk mencapai kesuksesan. Romario tidak perlu bekerja keras seperti para pemain lainnya, karena dia sudah punya segalanya untuk bisa menjadi penyerang kelas top.
Yang jadi satu-satunya kelemahan Romario adalah kesenangannya pada dunia malam. Dia pernah mengakuinya, “Malam selalu jadi temanku, ketika saya keluar, saya senang, ketika saya bahagia, saya bisa mencetak gol.”
Senang Gonta-ganti Wanita, tapi Romario tetap Luar Biasa
Mengingat candu akan dunia malam, dari bar, lantai dansa hingga wanita disertai ketenaran dan kekayaan, tentu sepak bola bukanlah hal cukup untuk diri Romario. Untungnya, Romario dan juga PSV, segala sesuatunya berjalan dengan lancar.
Mengingat kecanduan akut terhadap bar, lantai dansa, dan wanita dalam genggaman seorang pria dengan ketenaran dan kekayaan yang signifikan, sebuah panggung besar sepak bola tidak akan cukup untuknya. Syukurlah untuk Romário, dan juga PSV, minggu demi minggu, saat dia membuktikan berulang kali, dengan atau tanpa mabuk, tidak ada seorang pun yang bisa bermain seindah dirinya. Dia seperti pemain dengan jiwa yang bebas, seperti berasal dari dunia lain. Dan dia milik PSV.
Musim debutnya di PSV Eindhoven, khususnya di kompetisi Eredivisie 1988/89, Romario tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi. Padahal awal kedatangannya, banyak pihak meragukan adaptasi Romario, yang datang dari Brasil untuk bisa menyesuaikan diri tidak hanya rumah baru, liga baru, negara dan budaya baru, benua baru yang jauh dari kampungnya, terlebih tekanan besar karena PSV sering menang sebelum dia bergabung. Saat dia gabung, PSV memang baru saja meraih treble, yakni gelar juara Eredivisie, Piala Belanda dan Piala Eropa.
Ya, tekanan besar seperti itulah yang dihadapi Romario di musim debutnya bersama PSV. Namun setelah pra-musim, di musim baru, dirinya langsung masuk starting line-up Guus Hiddink. Di musim debutnya, dia juga mengakhiri kompetisi dengan torehan 26 gol dari 34 penampilan, top skorer untuk PSV. Beberapa pihak menilai dia tidak akan terjerumus dunia malam, tapi yang dilakukan Romario adalah berpesta lebih sering dari sebelumnya. Selain karena kebiasaannya, faktor pendukung lainnya adalah banyak tempat-tempat hiburan malam di pusat kota Eindhoven kala itu. Namun di atas lapangan, Romario tetap luar biasa dengan mencetak 31 gol dalam 27 penampilannya di musim berikutnya. Musim selanjutnya lagi, dia bahkan mencetak 30 gol dari 30 penampilannya.
Statistik ini tentu luar biasa bahkan bisa dibilang tidak masuk akal bagi penyerang yang masih muda, bermain jauh dari negara kelahirannya untuk pertama kalinya. Apalagi kebiasaan buruknya di luar lapangan yang banyak menjadi sorotan media-media Eropa. Ketika wasit meniup peluit tanda laga dimulai, Romario seolah tidak peduli dengan omongan media tentang kebiasaan buruknya akan dunia malam, dia secepat kilat langsung berganti kepribadian. Dari pria bertubuh mungil yang bak playboy di klub-klub malam, menjadi Romario yang selama 90 menit penuh sukses sebagai mesin gol klubnya.
Dengan grativasi yang rendah – karena tubuh pendek, lincah, kaki cepat dan bakat sejak lahir, dia mampu memanfaatkan celah dan timing tepat, ditambah teknik tinggi, Romario cukup komplet sebagai mesin gol PSV. Dia seolah-olah hanya bermain di atas lapangan untuk mencetak gol, sangat sedikit penyerang yang mampu membobol gawang dengan luar biasa, seperti yang dilakukan Romario. Dia mampu berlari ke tiang dekat dan mencongkel bola ke dalam gawang, kiper lawan hanya terpaku menatapnya. Dia juga berputar-putar menghindari bek-bek musuh dan menyelesaikan bola dengan tendangan lurus dari luar kotak penalti. Tidak hanya mampu menyelesaikan peluang dan mencetak gol,
Dia juga bisa berputar kembali menghindari bek-bek lawan, dan menyelesaikan bola dengan tendangan lurus dari tepi area penalti. Para bek sayap juga dibuat kelimpungan karena selalu kalah adu lari menghadapi kecepatan Romario di atas rata-rata. Teknik stepover atau flip-flap seringkali dipamerkan Romario untuk mengecoh lawan-lawannya sebelum mencetak gol.
Lima Musim yang Terasa Singkat bagi Romario dan PSV
Penyerang mungil Brasil ini menghabiskan lima musim, waktu yang cukup lama namun terasa singkat baginya dan juga PSV. Pada musim panas 1993, dia harus mengucapkan salam perpisahaan kepada klub dan penggemar di Belanda usai menerima pinangan salah satu klub top Eropa asal Spanyol, yakni Barcelona. Yang kala itu, diperkuat oleh para legendaris seperti Hristo Stoichkov, José Mari Bakero, Pep Guardiola, Michael Laudrup dan Ronald Koeman, yang akan jadi teman-teman satu timnya.
PSV menerima tawaran tiga juta euro – nominal yang cukup besar kala itu – dari Barcelona. Romario meninggalkan klub raksasa Belanda itu dengan statistik yang luar biasa yakni 165 gol dari 167 pertandingan dengan tiga gelar Liga Belanda dan tiga kali memenangkan Piala Belanda untuk PSV.
Ditinggal Romario, PSV benar-benar merasakan kehilangan khususnya di lini depan. Hingga beberapa tahun kemudian, mereka seolah tidak mampu mendapatkan striker pengganti Romario, haus gol meski suka gonta-ganti wanita. Hal yang sama dialami oleh Romario, yang tidak pernah lagi menjadi striker produktif seperti yang dia tunjukkan di Belanda.
Di Catalonia, dia hanya bertahan dua tahun hingga dilepas secara transfer permanen ke klub raksasa Brasil Flamengo. Sempat kembali ke Eropa bersama Valencia, namun dua tahun berselang pulang lagi ke Flamengo. Setelah itu, dia terus berganti-ganti klub, bahkan sempat mencicipi kompetisi di Asia, Australia hingga Amerika Serikat. Hingga akhirnya memutuskan pensiun pada awal tahun 2010 dengan terakhir membela klub amatir Brasil, America (RJ) Club.
Meski akhir kariernya tidak begitu mempesona, nama Romario akan tetap dikenang sebagai salah satu penyerang legendaris di dunia sepak bola. PSV juga akan dikenal sebagai klub yang paling sabar menghadapi perilaku buruk talenta asal Brasil seperti Romario, yang suka main cewek ketika sedang tidak bertugas di lapangan.