Semuanya tentu tahu betul kisah The Beatles, band muda berbakat namun masih amatir, yang merantau dari kota Liverpool, Inggris ke Hamburg, Jerman. Sepertinya mirip-mirip dengan kisah pesepakbola legendaris yang meninggalkan Liverpool, bermain untuk Hamburger SV.
The Beatles pada 1960, melakukan perjalanan ke Hamburg, Jerman dengan menggunakan minivan. Awalnya di Jerman, mereka berpenghasilan kecil, manggung di aula pertunjukkan yang kumuh, lalu menjelma sebagai salah satu band rock papan atas dan legendaris hingga kini. Selang 17 tahun kemudian, Kevin Keegan seorang pesepakbola melakukan perjalanan yang sama, meski memang tidak semelarat The Beatles saat ke Hamburg. Keegan sudah dikenal sebagai salah satu pesepakbola top saat gabung Hamburg dari Liverpool.
Semasa bermain di Liverpool, gajinya hanya 12 ribu pounds per tahunnya. Sementara Hamburger Sport-Verein merekrutnya pada 1977, memberinya upah sebesar 250 ribu pounds per tahun. Bahkan Keegan sendiri – tidak seperti The Beatles yang rendah hati – tahu nilainya sebagai seorang pemain sepak bola. Dia bahkan meminta klausul pelepasan sebesar 500 ribu pounds dalam kontraknya bersama Liverpool.
Jauh sebelum musim 1976/1977, tahun terakhirnya di Liverpool, niatan pergi dari Anfield sudah secara eksplisit ditunjukkan sang pemain. Saat itu, namanya memang sedang menanjak signifikan, dengan klub-klub top Eropa menginginkannya. Namun, klub-klub Liga Spanyol saat itu terkenal dengan ketakutan dan kewaspadaan ekstra mereka dalam berinvestasi pada bakat-bakat asal Inggris. Sementara para pelatih klub Italia, merasa ragu sang pemain bisa nyetel dengan permainan Negeri Pizza.
Bertepatan dengan periode tersebut, Hamburg baru saja dibeli oleh grup perusahaan manufaktur asal Jepang, Hitachi. Dan manajer umum saat itu, Peter Krohn bersikeras untuk mengejar Keegan, bahkan rela merogoh kocek sangat dalam untuk menebus klausul pelepasan sang pemain. Dia ingin memanfaatkan setiap kesempatan yang diberikan kepadanya, dan kesepakatan yang diajukan oleh Krohn memberinya ruang yang signifikan untuk bermanuver dalam hal pendapatan tambahan yang akan tertanam setiap kali public mengkomersilkan citranya.
Awal yang Sulit di Hamburg
Tetapi, untuk semua kekayaan materi yang baru didapatnya, beberapa bulan pertama Keegan di Jerman Barat terbukti sulit.
“Pergi ke Jerman, itu sulit. Lima atau enam tahun di Liverpool dan saya akan menjalankan sebuah tantangan saya di sana. Saya hanya menyukai tantangan, dan Jerman adalah tantangan saya,” kata Keegan dalam sebuah wawancara.
Untuk seorang pemuda yang terbiasa dengan kenyamanan di ruang ganti Anfield, suasana yang tidak biasa dari Hamburg dan HSV membuatnya butuh waktu untuk membiasakan diri. Pertama-tama, rumah pertamanya di Jerman, sebuah kamar hotel jelek di pinggiran kota. Hanya ketika dia pindah ke rumah pertanian di luar kota, Keegan mulai menetap. Selain itu, ia menghadapi isolasi dari rekan satu tim barunya. Skuad yang dia masuki adalah tim yang kuat, bangga dengan kesuksesan sebelumnya dan waspada terhadap pendatang baru berwajah Inggris seperti Keegan. Meski dihuni para pemain hebat, skuat HSV saat itu juga merupakan kelompok yang tidak stabil setelah kepergian pelatih berpengaruh, Kuno Klotzer. Klotzer telah memimpin HSV meraih kemenangan Piala Winners pada tahun 1977, tetapi dibuang oleh Krohn, demi menunjuk pelatih baru, Rudi Gutendorf.
Seperti Gutendorf, Keegan dipandang sebagai anak buah Krohn; sebuah perombakan yang instan dan tentunya mahal tapi bersahaja di kubu Hamburg kala itu. Saat masa-masa awal yang gugup itu, menurut pengakuan jurnalis ternama Inggris saat itu, Hunter Davies, Keegan dianggap seperti musuh.
“Para pemain tidak akan mengoper bola kepadanya, iri dengan gaji yang harus dibayarkan Hamburg untuk mendapatkannya dari Liverpool. Kemudian dia dikeluarkan dalam pertandingan persahabatan dan diskors selama delapan minggu, membuat segalanya jadi tambah berantakan,” kata Davies pada tahun 1999.
Performa buruk Keegan di lapangan tentu membuat proses adaptasinya tidak mulus. Sebuah titik rendah pribadi saat final Piala Super Eropa ketika Liverpool, dipimpin oleh penggantinya Kenny Dalglish, menghancurkan HSV 7-1 secara agregat. Pada babak setengah jalan Bundesliga, tim barunya berada di posisi ke-12 dan sudah tersingkir dari Piala Winners. Ini tidak seperti sebuah kompetisi, melainkan mimpi buruk bagi pemain kelahiran Yorkshire itu. Tapi itu akan segera berubah lebih manis. Menjelang akhir musim 1977/78, performa Keegan berbalik meski hasil masih tidak konsisten untuk HSV, yang finis di urutan kesembilan di Bundesliga.
Penampilannya meningkat sedemikian rupa sehingga dia dianugerahi Ballon d’Or akhir tahun itu. Hal-hal juga mulai berubah untuk HSV. Krohn yang keras digantikan oleh Günter Netzer, seorang pria yang digambarkan Deutsche Welle sebagai “playmaker klasik dengan naluri bisnis”. Netzer adalah legenda sepak bola dan playboy dengan jiwa wirausaha tinggi. Dia terlibat dengan HSV setelah menawarkan jasa perusahannya untuk menjalankan majalah klub. Sebaliknya, Die Rothosen mempekerjakannya sebagai manajer umum.
Awal Kebangkitan Keegan dan Kejayaan Hamburg
Dengan Netzer yang memimpin, raksasa tidur HSV benar-benar terbangun. Sejak berdirinya Bundesliga pada tahun 1963, mereka belum memenangkan gelar, kemenangan terakhir mereka datang pada tahun 1960 ketika kejuaraan masih diputuskan sebagai turnamen antara dua tim teratas dari masing-masing wilayah. Hampir dua dekade tanpa menjadi juara nasional sulit bagi klub yang dikenal sebagai “The Dinosaur” karena keunggulannya yang sudah lama ada di sepak bola Jerman.
Untuk membantu memperbaikinya, Netzer membawa masuk pemain asal Yugoslavia, Branko Zebec, sebagai pelatih kepala untuk musim 1978/79. Duo ini akan mengawasi kedatangan pemain berkaliber hebat, termasuk Horst Hrubesch (“Header-Beast“) dan, kemudian, Franz Beckenbauer pasca-Cosmos. Bersama-sama, mereka memperkuat sisi pembinaan dan administrasi.
Tampaknya satu-satunya masalah yang tidak bisa diselesaikan Netzer adalah para penggemar, karena di tribun, teriakan-teriakan kasar mulai terdengar. Aktionsfront Nationaler Sozialisten, sebuah kelompok neo-Nazi yang berbasis di Hamburg, didirikan pada tahun Keegan datang ke Jerman senang datang ke Tribun menonton langsung. Terlepas dari kekhawatiran yang berkembang di luar lapangan, tim itu bersatu di bawah pendekatan Zebec yang kaku dan sistematis. Penambahan target-man, Hrubesch memungkinkan Keegan berkembang pesat permainannya. Dengan Felix Magath, seorang gelandang imajinatif yang ‘melayani’ keduanya, HSV sekarang memiliki salah satu lini depan paling mematikan di liga.
Musim kedua Keegan di Hamburg dimulai dengan kemenangan 3-0 atas Borussia Mönchengladbach, yang saat itu merupakan salah satu tim terbaik Eropa. Keegan gagal mengeksekusi penalti tetapi kemenangan itu merupakan indikator dari apa yang akan datang. Pukulan dari juara bertahan Köln, serta Hertha BSC, Schalke, Dortmund dan Fortuna Düsseldorf akan mereka terima, dan pada saat HSV mengalahkan Bayern Munich 1-0 pada bulan Desember, kredensial gelar mereka sudah jelas.
Di Tahun Baru, Keegan benar-benar terang seperti lampu di pohon natal. Dia berperan penting, mencetak 11 gol dalam 12 pertandingan terakhir musim ini, menggabungkan kualitas luar biasa Hrubesch dan Magath. Dari 10 Maret hingga 9 Juni tim tidak kalah dalam berbagai ajang, hampir tiga bulan tak terkalahkan. Ketika mereka akhirnya menyerah pada Bayern di babak final piala domestik, tapi HSV sudah menjadi juara Bundesliga 1978-1979. Keegan, yang telah menjadi bagian integral dari permainan tim, telah membuat dirinya menjadi legenda di Jerman. Dia memenangkan Ballon d’Or lagi tahun itu dan fans HSV memberinya gelar Mächtig Maus (Tikus yang Perkasa). Hamburg, tampaknya, telah jatuh cinta pada Keegan, seperti halnya dengan para musisi muda Inggris yang telah merekam single pertama mereka di kota itu bertahun-tahun sebelumnya.
Tahun berikutnya, HSV mulai rajin dan konsisten tampil di panggung Eropa. Mereka melaju melalui babak awal melawan Valur dan Dinamo Tbilisi sebelum menghadapi lawan yang lebih tangguh di Hajduk Split Yugoslavia. Gol tandang membuat Hamburg lolos setelah kekalahan 3-2 di Split membuat mereka ketakutan. Di semi final ditunggu tim Real Madrid yang berisi “Black Lightning”, orang Inggris Laurie Cunningham. Kekalahan 2-0 di Bernabéu membuat HSV terguncang, tetapi kekalahan itu hanya membuat salah satu penampilan khas tim ini.
Diberi izin untuk bermain lepas oleh sang pelatih Zebec, HSV seperti melepas rem tangan di leg kedua. Mereka memainkan pertandingan dengan kecepatan penuh, dengan hanya satu hal dalam pikiran: mencetak gol. Melawan pertahanan yang dilindungi oleh Vicente del Bosque, Keegan dan HSV membuat Madrid kerepotan di depan gawang sendiri. HSV menyerbu seluruh tim Madrid sejak menit pertama. Kurang dari 20 menit telah berlalu dan defisit telah terhapus melalui gol dari Kaltz dan Hrubesch.
HSV yang menyerang habis-habisan, kecolongan lewat satu gol Madrid yang dicetak oleh Cunningham. Tapi gol itu sia-sia, Hamburg unggul 4-1 dan akhirnya menutup laga dengan kemenangan 5-1. Mereka lolos ke final dengan kemenangan agregat 5-3. Tim yang telah Netzer bentuk akan bertanding di final Piala Eropa 1980 melawan Nottingham Forest asuhan Brian Clough. Inti dari semua itu adalah pria kecil dari utara Inggris, seorang dribbler yang berlari dengan gocekan kiri-kanan, mengambil bola dan mengalahkan tim-tim terbaik di Eropa saat itu.
Seperti halnya orang lain, Keegan adalah katalisator kebangkitan HSV. Namun, dengan caranya yang biasanya berpikiran maju, dia sudah memikirkan langkah selanjutnya. Seperti halnya kariernya di Liverpool pada tahun 1977, final Piala Eropa akan menjadi tirai untuk menutup karirnya di HSV. Sekarang popularitasnya makin menjadi-jadi dan bahkan menjadi wajah dari mayoritas sponsor klub saat itu. Final menghadapi Nottingham Forest akhirnya berlangsung, dan Keegan – lagi-lagi tertampar realita -, HSV yang tampil menyerang, harus telan kekalahan. Kalah tipis 0-1 menghadapi Forest asuhan Peter Shilton yang rapih dalam bertahan maupun menyerang.
Dengan berakhirnya HSV sebagai runner-up di Piala Eropa dan Bundesliga pada 1980, gelar liga 1979 akan menjadi medali klub terakhir yang pernah dimenangkan Keegan sebagai pemain. Dia tidak mendapatkan hadiah lagi di sisa waktunya bersama HSV, tetapi dia tetap menjadi salah satu pemain Hamburg yang paling dicintai sepanjang sejarah. Seperti musisi berambut floppy a.k.a The Beatles, yang menggetarkan kota tua itu, Keegan menjadikan dirinya bagian dari cerita rakyat Hamburg. Luar biasa.