Bolazola – Bagi Hamit Altintop, momen tanggal 8 Desember 2012 –hari ulang tahunnya– menjadi salah satu yang harus dilupakan. Dirinya duduk di bangku cadangan di Istanbul pada hari ulang tahunnya yang ke-30. Ya, dia hanya jadi pemanis bangku cadangan selama 90 menit saat Galatasaray mengalahkan Sivasspor 3-1.
Namun, tiga dekade sebelumnya, di sebuah rumah sakit Kota Gelsenkirchen, Jerman, lahirlah saudara kembar yang akan menjalani jalan hidupnya sebagai salah satu pasangan pesepakbola kembar tersohor. Halil adalah nama yang dipilih oleh orang tua mereka untuk merepresentasikan jutaan imigran Turki yang tinggal di Jerman kala itu. Mereka dibesarkan oleh ibu mereka bernama Meryem, bersama tiga kakak perempuan, setelah ayah mereka meninggal karena kanker ketika si kembar, Halil dan Hamit Altintop baru berusia dua tahun.
Menghabiskan masa muda mereka dengan SSB bernama Schwarz-Weiß Gelsenkirchen-Süd dan TuS Rotthausen, pada tahun 1997 pasangan tersebut sepaket menerima pinangan Wattenscheid U-17. Altıntop bersaudara mengguncang publik dengan kehadiran mereka yang memainkan sepak bola luar biasa di tingkat ketiga Regionalliga Jerman. Pada tingkat seperti itu, keduanya benar-benar menonjol dan langsung diketahui punya bakat yang cukup besar. Tidak lama kemudian, si kembar hidup sesuai dengan nama keluarga mereka yang unik, yang jika diterjemahkan sebagai “bola emas”. Hamit adalah gelandang serba bisa yang mampu bermain di mana saja di lini tengah lapangan.
Di sayap kanan, memberikan dorongan menyerang dengan umpan-umpan long ball luar biasa, mau mundur bertahan membantu bek kanan, Hamit juga terbilang pemain versatile. Halil, sementara itu, mudah beradaptasi, bermain sangat baik sebagai gelandang atau tepat di belakang striker, sesekali melebar. Namun siapa yang sangka, dirinya yang menjadi Bintang pertama bersinar, pertama pula yang meredup begitu cepat. Halil pertama kali melakukan debut profesionalnya, turun dari bangku cadangan untuk membuka skor menghadapi Borussia Berlin pada awal Maret 2001 silam.
Sementara Hamit, seminggu kemudian kembali bermain melawan Sachsen Leipzig, meskipun ia hanya menjadi pengganti di sisa pertandingan. Lebih baik saudara kembarnya, Halil, yang menambah torehan golnya jadi empat sebelum musim tersebut berakhir. Sebagai orang yang membawa Wattenscheid ke Bundesliga, pelatih Hannes Bongartz pasti sosok pengasuh yang piawai melihat bakat dalam diri seorang pemain. Dia akan mempercayakan pasangan mudanya selama musim berikutnya, dan kedua pemain pun bermain lebih dari 30 kali namun Wattenscheid harus kembali degradasi dan tersingkir dari Bundesliga.
Meskipun kegagalan tidak ke Bundesliga, bakat Altintop bersaudara itu hanya menuju satu arah. Setelah kampanye mengesankan lainnya, duo saudara kembar ini menuju ke Bundesliga. Bagi Hamit, dia langsung masuk ke skuat utama klub Kota Gelsenkirchen, Schalke. Halil ditangkap oleh Kaiserslautern, kota yang lebih ke selatan Jerman. Membuat si kembar untuk pertama kalinya dalam hampir 21 tahun harus terpisahkan. Bermain di kompetisi yang punya dua level lebih tinggi dari Halil, Hamit jelas berkembang sangat pesat. Mencetak dua gol dalam hasil imbang 2-2 dengan rival sengit Schalke, Borussia Dortmund pada debut liganya, ia langsung menjadi pemain kesayangan para fans klub.
Meski tidak segegap gempita saudara kembarnya, Halil, bagaimanapun, berjuang untuk mentransfer sifatnya yang produktif ke bersama Kaiserslautern. Dia pun menjadi ‘pelayan’ favorit untuk Miroslav Klose dan hanya mencetak dua gol di tahun pertamanya di papan atas. Sekitar 350 km di utara, Hamit diperkirakan akan melakukan terobosan internasionalnya. Si kembar sebenarnya telah terlibat dalam tim nasional junior Turki sejak masih membela klub gurem Wattenscheid.
Seperti yang diperkirakan banyak orang, Hamit lebih dulu mendapatkan debutnya untuk tim nasional senior pada Februari 2004 melawan Denmark. Halil harus menunggu sekitar 13 bulan kemudian untuk memainkan pertandingan perdananya di ajang internasional bersama negaranya, Turki. Secara total, pasangan tersebut akan tampil 122 kali untuk Turki, dengan Hamit mengumpulkan sebagian besar dan momen terbaiknya, membantu negara ibunya itu ke semi final Euro 2008. Halil akan diabaikan untuk skuad final turnamen itu, berbeda jauh dengan Hamit yang jadi andalan.
Kelalaian tersebut tidak mengurangi prestasinya. Setelah menetap di Fritz-Walter-Stadion, koleksi 20 golnya pada musim 2005/06 membuatnya menjadi pencetak gol terbanyak ketiga di Bundesliga. Dia hanya kalah dari para pemain bernama besar seperti Lukas Podolski dan Roy Makaay. Halil Altıntop pun mendadak jadi komoditi sangat panas untuk dipertahankan oleh klub sekaliber Kaiserslautern yang terdegradasi. Pada Januari 2006, diumumkan bahwa Schalke akan menyatukan kembali Halil dengan Hamit setelah kontraknya berakhir Juni itu.
Hamit Punya Karir Lebih Mentereng dari Halil
Lagi, mereka bersama-sama lagi, dalam bermain sepak bola professional untuk klub besar Jerman, Schalke yang memimpin Bundesliga untuk sebagian besar musim 2006/07. Sampai tiba saatnya penurunan, dimulai dengan kekalahan dramatis dari Dortmund menjelang akhir musim. Yang membuat mereka harus menyerahkan gelar juara Bundesliga kepada Stuttgart. Kegagalan jadi juara untuk Hamit akan terbayar ketika dia mengangkat Die Meisterschale dua belas bulan kemudian, namun bukan dengan jersey Schalke, melainkan Bayern Munchen.
Meskipun diganggu oleh cedera selama sebagian besar dari empat musimnya di Allianz Arena, Hamit memenangkan dua gelar Bundesliga dan DFB-Pokals saat mencapai final Liga Champions 2010. Saat saudara kembarnya sudah gabung Bayern, Halil tetap di Gelsenkirchen.
Bisa ditebak, di Schalke, Halil tidak sukses-sukses amat. Dia hanya akan mencetak 25 gol dalam empat musim sebelum hengkang ke Eintracht Frankfurt pada Januari 2010.
Perjalanan karir yang jauh berbeda, lebih bersinar Hamit ketimbang saudara kembarnya, sebenarnya sudah diprediksi oleh pelatihnya saat masih muda, Hannes Bongartz.
Sang pelatih adalah yang menangani keduanya di akademi Wattenscheid. Dia merasa kedua pemain tersebut, meski kembar, punya sifat yang kontradiktif.
“Mereka pemain yang punya skill yang jauh beda. Hamit sangat kuat dalam bertahan, petarung yang agresif dan terlahir natural sebagai pemimpin. Sementara itu, Halil lebih ke teknis, tenang, pintar dan selalu ingin cetak gol. Jadi wajar, Hamit lebih pintar bergaul dan karirnya lebih meluas,” kata Bongartz.
Si Kembar Sempat Sama-sama Berkarir di Turki, tapi Klub Berbeda
Pada musim panas 2011, si kembar masing-masing sudah berusia 29 tahun dan sudah menjadi andalan Timnas senior Turki. Daya pikat mereka berdua pun tidak perlu diragukan di tanah kelahiran orang tuanya, Si Negeri Kebab. Halil menjadi yang pertama mendahului Hamit yang bergabung dengan tim asal Turki, Trabzonspor. Hamit baru mengikut setahun kemudian dan gabung ke Galatasaray, tetap terpisah meski sama-sama main di kompetisi sepak bola Turki.
Namun sebelumnya, Hamit mencatatkan rekor untuk negaranya sebagai pemain Turki pertama yang membela Real Madrid pada musim panas 2011. Meskipun datang dengan status bebas transfer alias gratisan, transfer ini membuat publik mengangkat alis keheranan. Bahkan pelatih Los Blancos saat itu, Jose Mourinho, benar-benar ogah memberinya kesempatan karena Liga Spanyol menuntut pengalaman dan fleksibilitas tingkat tinggi.
Bisa ditebak dia hanya 11 kali bermain sebelum akhirnya pindah ke Istanbul. Selama lima tahun di Galatasaray, Hamit memenangkan dua gelar Süper Lig dan dua gelar lagi Türkiye Kupas. Sesuai dengan karir mereka berdua seumur hidup, waktu Halil di Trabzon lagi-lagi kurang berhasil. Setelah dua musim di Trabzonspor, dia kembali ke Jerman pada 2013 membela Augsburg. Di sini, dia mencetak rata-rata satu gol setiap lima pertandingan, berhadapan dengan saudara kembarnya untuk terakhir kalinya pada akhir Februari 2017, Hamit yang juga kembali ke Jerman gabung Darmstadt.
“Kami mengesampingkan cinta persaudaraan selama 90 menit. Dia lebih sering menang, tapi saya mencetak lebih banyak gol. Laga-laga di mana kami bertemu, selalu menjadi pertandingan yang spesial. Kami tidak ada dendam setelah 90 menit berakhir,” Halil pernah mengenang karirnya kala berhadapan satu sama lain dengan saudara kembarnya, Hamit.
Hamit akan pensiun pada 2018, sementara Halil sempat mencicipi sepak bola Republik Ceko bersama Slavia Prague. Halil kemudian kembali ke Kaiserslautern sebelum mengakhiri karirnya di akhir musim 2017/2018.
Kini dua sosok kembar ini telah menjalani karir baru dalam sepak bola, dengan Hamit menjadi salah satu pejabat tinggi di organisasi induk sepak bola Turki (TFF). Sementara Halil, menjabat sebagai manajer Bayern Munchen U-17. Masa-masa emas mungkin tidak benar-benar menyapa mereka berdua, tapi bersama-sama Halil dan Hamit Altintop berbagi lebih dari 100 caps bersama-sama sebagai pemain asal Turki yang bermain di beberapa klub paling bergengsi di Eropa. Kepuasan memiliki kenangan bermain bersama-sama saudara kembar, tentu jauh lebih berharga dari pada trofi prestisius mana pun.