Bolazola – Setiap generasi baru sepak bola, tentu banyak berharap munculnya para pemain hebat. Para wonderkid yang mencuat ke permukaan pun diharapkan mampu menjadi nama besar. Namun, harapan dan kenyataan seringkali sulit berjalan bersamaan. Itulah yang dialami oleh bakat sepak bola Brasil Diego Ribas.
Pada awal 2000-an, seorang bocah asal Brasil bernama Diego Ribas da Cunha, yang Anda dan saya hanya kenal dengan nama panggilan Diego, digembar-gemborkan sebagai salah satu playmaker hebat untuk masa depan TImnas Brasil.
Dia masuk ke tim utama Santos pada usia 16 tahun dan seluruh masyarakat Brasil langsung sadar akan kehadirannya. Seorang bocah remaja yang memiliki kontrol bola jarak dekat yang luar biasa, sentuhan pertama yang indah dan tingkat kinerja yang jauh lebih tinggi dibanding pemain seusianya saat itu. Dia ditakdirkan untuk menjadi bintang, salah satu pembawa bendera saat tim nasional memasuki era baru pasca-Ronaldo dan Ronaldinho berakhir, tetapi itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Entah alasan apa yang pasti membuat Diego tidak sebesar yang diharapkan banyak orang. Entah di titik karier mana dia berhenti dengan status talenta besar Brasil. Diego membuatnya mulai berlatih dengan Comercial FC di kota barat laut Ribeirao Preto sejak usia enam tahun, di mana ia akan mengasah keterampilannya dan pertama-tama mempelajari bagaimana rasanya bermain dalam sebuah tim.
Beberapa tahun kemudian, ketika Diego mulai diincar klub yang lebih besar, dia direkrut oleh raksasa Santos yang berbasis di São Paulo. Salah satu klub terbesar dan paling bersejarah di seluruh Amerika Selatan, Diego berada di klub dengan nama beken, klub yang sebelumnya menjadi rumah bagi para legendaris seperti Pelé, Toninho Guerreiro dan banyak lagi. Pada usia 16 tahun, Diego membuat penampilan senior pertamanya untuk Santos di kejuaraan negara bagian. Ketika flashback kembali dan menonton video awal-awal dia bermain untuk Santos, kalian berpikir remaja ini punya sesuatu yang istimewa dalam dirinya.
Dia tidak melakukan juggling bola di kepalanya seperti Kerlon dan dia tidak melakukan banyak trik seperti Robinho; Diego adalah seorang gelandang serang klasik. Dia tidak mencolok, tapi dia jelas sangat efektif dalam menguasai bola. Dia bisa mengalahkan pemain dengan menjatuhkan bahu, dia tahu kapan harus berlari ke dalam kotak, dan dia pasti tahu bagaimana membobol gawang lawan.
Meskipun ia memiliki dribbling yang luar biasa, ketidakmampuannya untuk selalu memilih opsi yang tepat terkadang membuat pelatih dan rekan setimnya frustrasi dengannya. Dia, Robinho, Elano, dan Alex segera membentuk grup tangguh yang membantu Santos meraih Campeonato Brasileiro 2002, gelar liga pertama mereka sejak 1968.
Musim berikutnya, Diego menjadi faktor kunci bagi Santos mencapai final Copa Libertadores untuk pertama kalinya. Dalam 40 tahun, di mana mereka akhirnya kalah dari Boca Juniors di partai final. Diego langsung jadi buruan, dengan Pelé mengatakan bahwa dia dan rekan setimnya, Robinho “memiliki apa yang diperlukan untuk menjadi lebih baik daripada Pelé.”
Menapaki Sepak Bola Eropa, Panggung yang Lebih Besar
Klub pertama yang tertarik adalah Tottenham Hotspur. Kisah transfer ini cukup metafora untuk sisa karir Diego, karena langkah itu seharusnya sudah dilakukan sampai tiba pada masalah paspor di menit-menit terakhir mencegah pemain Brasil itu bergabung dengan tim Glenn Hoddle di London utara. Dengan kesepakatan yang terhenti, Diego melihat kemungkinan lain dan memutuskan pindah ke raksasa Portugal dan pemegang Liga Champions, Porto yang sedang mencari pengganti yang setara Deco.
Di atas kertas, Diego seharusnya menikmati tantangan menjadi bintang di tim transisi Porto. José Mourinho, Paulo Ferreira dan Ricardo Carvalho semuanya bergabung dengan Deco saat meninggalkan klub. Dan dengan Porto memiliki musim panas yang sibuk untuk menggantikan begitu banyak bintang, Diego diharapkan dapat segera mengambil alih dari Deco.
Tapi yang terjadi adalah Porto mengalami musim 2004/2005 yang teramat berat. Mereka hanya bisa mengumpulkan 39 gol liga saat harus kehilangan gelar mereka dari rival bebuyutan, Benfica. Sementara Diego tidak dapat mempertontonkan jenis penampilan yang diharapkan atau yang disaksikan banyak orang selama membela Santos. Mulai dari masa-masa sulit di Portugal, kita mungkin mulai melihat apa yang terjadi dalam karirnya hingga kini. Dia penuh dengan janji dan kilatan kecemerlangan, tetapi pada akhirnya hasilnya mengecewakan.
Bahkan pelatih baru yang datang ke Porto, Co Adriaanse membuat kariernya semakin rumit di Portugal. Sang pelatih tidak suka dengan gelandang muda asal Brasil itu. Keduanya bahkan dilaporkan sering berselisih dan ini menjadi nilai minus untuk sikap Diego ke depannya. Jika pelatih tim yang dia bela mendukungnya, dia akan sensasional. Sebaliknya, jika pelatih tidak suka, Diego akan menghilang bak ditelan bumi.
Karirnya bersama Porto perlahan-lahan memudar, begitu juga dengan pemberitaan soal bakatnya. Dengan waktunya di Porto, desas-desus menyebar tentang sikap temperamental pemain berbakat asal Brasil ini. Pertanyaannya adalah kemana dia akan berlabuh selanjutnya dari Porto. Werder Bremen berhasil meyakinkan sang gelandang serang hanya dengan €6 juta – dan investasi ini terbukti sangat bermanfaat bagi klub Jerman.
Pelatih Bremen saat itu, Thomas Schaaf tahu betul bagaimana caranya melatih gelandang muda berbakat namun terkenal temperamental seperti Diego. Dia memberikan Diego kepercayaan dan membangun tim asuhannya dengan poros kepada sang gelandang. Diego menjadi bagian integral dari tim Werder Bremen yang sempat bersinar. Dan klub Bundesliga itu menjadi tempat di mana Diego mampu bersinar di salah satu liga top Eropa.
Untuk pertama kalinya sejak di Santos, Diego merasa dicintai. Bukan hanya oleh manajernya, tetapi juga oleh para penggemar dan para pemain, dan dia adalah definisi buku teks tentang seorang bintang. Schaaf menyadari bahwa dia perlu terus meyakinkan Diego tentang seberapa penting dirinya, dan masalah disiplinernya di lapangan dimaafkan.
Kita semua telah melihat klip dia mencetak gol dengan aksi individualnya melawan Alemannia Aachen; meski penampilannya kadang-kadang keluar dari dunia ini. Dia terpilih sebagai pemain terbaik di paruh pertama Bundesliga pada tahun 2006, sementara dia dan Torsten Frings dijuluki “dua motor” klub. Diego akhirnya melanjutkan perjuangannya untuk kembali merebut tempatnya di skuat senior Seleção dan memenangkan penghargaan Pemain Terbaik Bundesliga.
Dua tahun berikutnya di Jerman membuat Diego menjadi gelandang serang terbaik. Dengan namanya kembali menjadi buah bibir para penggemar sepak bola di seluruh dunia. Musim terakhirnya dengan Werder benar-benar membuktikan dirinya jadi yang terbaik, mencetak total 20 gol. Meskipun Die Grün-Weißen finis ke-10 di klasemen akhir Bundesliga, penampilannya membantu klub mencapai final Eropa pertama mereka melawan Shakhtar Donetsk.
Namun, masalah disiplin di lapangan di semifinal membuatnya absen di partai final. Kartu kuning membuat dirinya melewatkan pertandingan terbesar dalam sejarah Werder Bremen, dan tentunya merugikan tim. Namun, tidak ada yang menyalahkan Diego – semua orang tahu dia akan pergi, dan penampilannya di final DFB-Pokal, di mana dia memberi umpan kepada Mesut Ozil, membuat pemain Brasil itu meninggalkan Bremen dengan sangat baik.
Menjemput Takdir, Diego Ribas Gabung Juventus
Saat meninggalkan Jerman, Diego akhirnya pindah ke klub yang jauh lebih besar yang sudah diprediksi banyak orang. Dia bergabung dengan Juventus, klub yang tepat, sayangnya di waktu yang salah.
Ketika Diego bergabung dengan Bianconeri, mereka berada di persimpangan jalan dalam sejarah klub mereka. Si Nyonya Tua berusaha untuk membangun kembali klub setelah skandal Calciopoli dan menunjuk mantan pemain, Ciro Ferrara sebagai pelatih kepala. Harapan klub adalah meniru kesuksesan Barcelona ketika mereka menunjuk mantan pemain Pep Guardiola.
Kedatangan Diego membuat mantan legenda Serie A, Zico untuk memuji pemain Brasil itu. Zico mengatakan, “Untuk peran yang dia mainkan dan cara dia mengeksekusi tendangan bebas, memang benar bahwa kami agak mirip.”
Sementara ikon Serie A lainnya, Jose Altafini menyatakan, “Diego lebih cepat dari Zico dan bisa bermain di mana saja.” Pietro Anastasi turut memberikan pujian atas Diego dengan menyatakan bahwa dia adalah kombinasi dari Zinedine Zidane, Roberto Baggio dan Michel Platini.
Kariernya di Italia dimulai dengan baik, dengan aksi individualnya membongkar pertahanan AS Roma di pekan-pekan awal Serie A Italia. Banyak yang kagum dengan betapa mudahnya dia menaklukkan Giallorossi dan itu menandakan bahwa Diego mampu tampil besar di klub besar. Sang pelatih, Ciro Ferrara juga menerapkan formasi 4-3-1-2 guna memprioritaskan sang gelandang. Tapi sayangnya, duo gelandang, Felipe Melo dan Christian Poulsen tidak mampu membantunya dalam membangun serangan. Terlalu banyak beban di pundak gelandang bintang mereka yang kemudian membuatnya menjadi kambing hitam atas kegagalan klub di akhir musim.
Dengan reputasinya yang memburuk, Diego kembali ke Jerman untuk bergabung dengan Wolfsburg yang diasuh pelatih asal Inggris, Steve McClaren. Namun pelatih Inggris itu tidak dapat menemukan cara terbaik untuk memaksimalkan kemampuan bintang asal Brasil. Ketika seseorang datang untuk biaya transfer rekor klub, seperti yang dilakukan Diego, Anda akan mengharapkan manajer memiliki semacam gagasan tentang bagaimana menggunakannya untuk kemajuan klub.
Dia diberitahu bahwa dia tidak diinginkan di klub dan ketika Felix Magath menggantikan McClaren, dia mencoba segala daya untuk mengeluarkan Diego dari tim. Atlético Madrid datang menelepon dan menawarinya penyelamat, dengan Diego Simeone ingin menjadikannya bagian dari petualangan barunya.
Bertemu dengan pelatih yang punya nama sama dengannya, Diego Simeone, dia langsung menemukan penampilan terbaiknya. Dia membantu klub memenangkan Liga Europa untuk kedua kalinya dalam tiga tahun terakhir tetapi harus kembali ke Wolfsburg pada akhir musim setelah pinjamannya.
Pada 2014, dia akhirnya mendapatkan kembali kesempatan gabung Atletico Madrid untuk kedua kalinya. Apa yang sebagian besar penggemar ingat tentang periode keduanya dengan Los Colchoneros adalah serangan ajaibnya melawan Barcelona, tetapi banyak yang lupa bahwa dia adalah bagian dari skuad yang merebut gelar La Liga dan mencapai final Liga Champions UEFA.
Kembali ke Kampung Halaman
Pada akhir musim 2013/2014, klub melepaskannya kembali dan klub Turki, Fenerbahce menjadi pelabuhan selanjutnya. Dia menandatangani kontrak tiga tahun dan langsung menjadi favorit penggemar di Istanbul. Namun dua musim dirasa cukup untuknya, dan dia menyadari waktunya sudah berakhir di benua Eropa. Dia akhirnya kembali ke rumah untuk bergabung dengan Flamengo, dengan meninggalkan Eropa sebagai pahlawan bagi sekelompok penggemar setia di Turki.
Tidak butuh waktu lama bagi Diego untuk menjadi pemain kunci bagi Flamengo, dan seperti yang ditunjukkan halaman media sosialnya, dia dan keluarganya menikmati kehidupan di Amerika Selatan. Dia bahagia, dan jauh di lubuk hati itulah yang diinginkan Diego – lebih dari sekadar trofi, pergerakan besar, dan keuangan. Sulit untuk meringkas karir Diego tanpa berfokus pada waktu dan manajer.
Dia tidak beruntung karena terlalu sering bertemu manajer yang disiplin dalam karirnya. Mungkin hanya dua klub, Werder Bremen dan Atletico Madrid yang bisa dibilang jadi tempat terbaik untuknya sepanjang kariernya di Eropa.
Sekarang, dia masih aktif bermain bersama Flamengo dan masih terikat kontrak hingga Desember 2021 mendatang. Mau tidak mau, kita bisa melihatnya sebagai bakat yang tidak benar-benar mampu menyesuaikan harapan dan kenyataan.
Dua hal tersebut berbicara lain, tapi tetap saja nama Diego Ribas pernah hinggap di benak para pecinta sepak bola dunia.