Sama seperti kebanyakan orang, penulis juga tidak terlalu peduli sebenarnya dengan klub bernama Middlesbrough Football Club. Seiring berkembangnya zaman, mereka berhasil membuktikan kepada penulis bahwa klub ini tidak begitu berarti, yang mana artinya tim medioker. Satu hal yang membuat kita sadar akan keberadaan klub ini adalah stadion baru yang mewah dan beberapa kelompok fans setia. Hal ini terjadi pada pertengahaan 1990-an, ketika mereka baru promosi ke Liga Inggris di musim 1995/1996.
Saat itu, klub asal Timur Laut Inggris ini mengambil keputusan untuk memberikan manajer muda paling menjanjikan di Inggris kala itu, Bryan Robson, dana yang fantastis untuk dibelanjakan pemain. Nama-nama yang biasa dikaitkan: pemain papan tengah yang tidak memiliki kemampuan teknis. Kemudian Juninho pun dikontrak, pemain asal Brasil dengan nama lengkap Juninho Paulista. Setahun kemudian,Emerson, gelandang berambut kusut asal Brasil, yang tampak seperti baru pulang dari dalam gua. Tidak terawat, tidak rapi dan tampak serius, siapakah pemain Brasil yang kontras dari penampilan necis ini?
Pengeluaran tidak berhenti sampai di situ. Masuklah jawara Liga Champions dan pemain tim nasional Italia Fabrizio Ravanelli dari Juventus. Masih selalu jadi pertanyaan mengapa dia meninggalkan Turin untuk gabung klub seperti Middlesbrough. Pemain dengan julukan White Feather ini merupakan seorang pencetak gol murni, cerdas dalam bergerak dan mematikan ketika mendapat peluang di depan gawang lawan.
Dia memiliki dua kaki yang sama hebatnya, semua trik khas pemain Italia juga dikuasai olehnya. Penampilan misterius ini dilengkapi dengan rambutnya yang sudah beruban terlalu cepat. Sebagai seorang fans Liverpool, tentu kamu akan mengingat debut Ravanelli yang luar biasa, ketika dia mencetak hat-trick dalam hasil imbang 3-3 menghadapi Middlesbrough di laga pembuka Liga Inggris 1996/97.
Selain Ravanelli, ada juga Mikkel Beck, pemain tim nasional Denmark yang didatangkan dari klub Jerman Fortuna Koln. Lalu, Branco yang sudah tampil sebanyak 72 kali untuk tim nasional Brasil, datang ke Boro dengan perut besar. Klub ini mulai berubah lebih seperti PBB cabang sepak bola karena banyaknya pemain berbeda negara. Saat itu, masih belum familiar klub Inggris punya begitu banyak pemain asing. Namun jika melihat sekarang, sepak bola Inggris akan berubah menjadi seperti itu.
Perwujudan Fantasi yang Berakhir Degradasi
Robson benar-benar membentuk sebuah tim yang memiliki bakat dan banyak orang mengira Middlesbrough mampu menjadi penantang gelar juara. Sayang sekali, perjalanan klub malah berujung kekecewaan pahit berupa degradasi pada Mei 1997. Namun mereka telah memukau para penggemar sepak bola di seluruh Britania Raya, seperti Clayton Blackmore dan Robbie Mustoe terlihat lebih eksotis dari sebelumnya.
Middlesbrough adalah sebuah tim yang saat itu mengambil satu pertandingan ke pertandingan yang lainnya. Mungkin inilah alasan mengapa mereka mampu tampil tiga kali di Wembley antara tahun 1996 hingga 1998. Mungkin mereka kalah di final, tapi hari itu, mereka mampu bersaing dengan tim-tim terbaik. Meski pada medio itu, para fans Boro tentu sangat frustrasi karena hasil tim, tapi kita bisa lebih dari 20 tahun ke belakang untuk mengagumi Middlesbrough sebagai sebuah klub.
Pasang surutnya musim dan degradasi yang terjadi setelahnya sering kali menutupi kecemerlangan tim dan fakta bahwa mereka tetap menjadi salah satu tim yang paling menghibur di era Premier League. Mereka mencetak 51 gol pada musim tersebut, jumlah tertinggi dari tim manapun di luar tujuh besar. Hal itu terjadi meskipun mereka terdegradasi. Ravanelli mencetak 16 gol yang luar biasa, termasuk hat-trick ke gawang Liverpool dan Derby. Juninho memperdaya para pemain bertahan dan gelandang bertahan dengan gerakannya yang tajam, kontrol jarak dekat dan bola mati. Dengan 12 gol dan jelas terlihat mengapa Middlesbrough memiliki salah satu pemain paling berbakat di liga, yang bisa sejajar dengan Georgi Kinkladze dan Eric Cantona.
Melihat ke belakang, pengaruh sebenarnya dari tim tersebut bukanlah apa yang diraihnya dalam jangka pendek, namun sebuah fantasi yang mereka tanamkan dalam sepak bola Inggris. Yaitu adalah tim yang menyatukan permainan sepak bola lokal yang kuno dengan cita rasa asing yang unik yang pada akhirnya akan mengangkat Premier League ke level yang lebih tinggi. Itu adalah momen penting: sebuah musim gagal total Middlesbrough yang menentukan arah Premier League kepada gerbang kesuksesan besar.
Tim Middlesbrough ini menjadi awal dari gelombang pertama migrasi massal pemain asing ke Liga Primer. Akankah kita melihat pemain-pemain seperti Jay-Jay Okocha, Paolo Di Canio, Eyal Berkovic dan Christophe Dugarry tanpa musim yang penuh imajinasi dari Middlesbrough? Mungkin, namun perekrutan pemain-pemain yang menjadi box office tersebut membuktikan kepada Eropa, dan dunia yang lebih luas, bahwa sepak bola Inggris telah siap untuk memasuki fase baru yang lebih berani. Tidak lama setelah itu, seorang pria Prancis yang kurus dan berambut lebat tiba di Arsenal.
Mengubah Pola Pikir Liga Inggris pada Pemain Asing
Yang terpenting, tim Robson juga membuktikan bahwa tim yang tidak diunggulkan memiliki kaki sendiri untuk berdiri. Kekuatan tradisional tidak lagi memonopoli beberapa nama eksotis yang memutuskan untuk bergabung dengan liga yang terus berkembang dan mengalir bebas ini. Kehidupan fantasi sepak bola dari ujung ke ujung mulai terbuka untuk semua pemain dari negara mana pun.
Tidak semua orang setuju bahwa tim Boro ini adalah perintis, namun jangan lupa bahwa ini adalah masa ketika Duncan Ferguson mencetak banyak gol di Goodison, Dion Dublin mencetak gol-gol krusial untuk membuat Coventry bertahan, Dean Sturridge merupakan salah satu pemain muda terbaik di liga, dan Wimbledon tetaplah sebuah klub sepak bola. Penting juga untuk diingat bahwa meskipun kesepakatan jutaan poundsterling untuk bintang asing merupakan hal yang biasa saat ini. Hanya ada Football Italia dan James Richardson di Channel 4 yang memberi fans sepak bola Inggris gambaran tentang pemain-pemain Eropa. Melihat kemampuan, teknik, dan bakat seorang bintang asing sungguh luar biasa.
Mungkin ide revolusioner untuk mendatangkan bintang asing untuk meraih kesuksesan masih dangkal pada tahun 1996. Mungkin juga masih bagi sebagian orang saat ini, tapi kita memang perlu menerima kenyataan yang ada. Maka, secepat mimpi seorang anak kecil yang menyaksikan para pemain Brasil dan bintang-bintang Italia menerangi Premier League, mimpi itu sekarang menjadi kenyataan. Middlesbrough terdegradasi karena masalah teknis setelah mereka tidak dapat menurunkan tim andalan saat menghadapi Blackburn. Yang membuat mereka gagal meraih poin penuh dalam dua laga tersisa di musim 1996/97 dan harus terlempar ke kasta kedua. Ini adalah akhir yang buruk setelah awal yang gemilang, namun menjadi bukti fondasi mereka lemah. Mereka tidak pernah menjadi klub yang dibangun untuk bertahan lama.
Sangat menarik untuk memikirkan apa yang akan terjadi di Timur Laut seandainya klub mampu tidak terdegradasi. Apakah kita akan melihat lebih banyak nama besar dari luar negeri untuk gabung Boro? Seperti apa wajah klub Middlesbrough sekarang, jika mereka bisa menurunkan tim andalan dalam laga menghadapi Blackburn pada awal Mei 1997?
Meski gagal total dan harus melihat tim kesayangannya kembali terdegradasi, para fans Boro harus bangga. Karena aktivitas transfer gila yang dilakukan Middlesbrough kala itu, sekarang Premier League menjadi salah satu panggung sepak bola termegah di dunia. Klub-klub mulai terbiasa merekrut para pemain asing dari negara non Britania Raya. Ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa banyak orang di seluruh dunia mencintai Premier League.