by

Bakat Marcio Amoroso yang Terlupakan, Salah Satu Penyerang Mengerikan di Dunia

Turnamen Copa America 1999 memang sudah terlupakan dari benak orang-orang, terjepit di antara kejayaan Prancis di tahun 1998 dan 2000, tiga tahun sebelum Brasil juara Piala Dunia 2022. Namun Copa America 1999 menyuguhkan peristiwa luar biasa saat Brasil memenangkannya dengan sekumpulan bakat-bakat seperti Ronaldo, Rivaldo, Ronaldinho, Roberto Carlos, Cafu dan masih banyak lagi. Setidaknya, untuk trio lini depan mereka, ini seperti gladi bersih untuk kesuksesan lebih besar di Korea Selatan dan Jepang, tiga tahun lagi.

Copa America 1999 memunculkan beberapa nama kejutan. Bisa dilihat dari daftar pencetak gol terbanyak, dengan Ronaldo dan Rivaldo berbagi posisi puncak sama-sama mencetak lima gol. Bergeser ke bawah, ada Ivan Zamorano, Martin Palermo dan Roque Santa Cruz (yang masih berusia 18 tahun), mengantongi tiga gol. Namun di tengahnya, ada salah satu striker paling ditakuti di dunia kala itu, mencetak empat gol, dengan nama Marcio Amoroso. Namanya memang jarang jadi buah bibir, tapi tidak ada yang lebih baik darinya kala itu.

Amoroso junior tumbuh di jalanan Brasilia. Dia menjadi remaja yang paling dibutuhkan karena bakatnya di turnamen futsal di kota kelahirannya. Berapi-api, ambisius dan sangat berbakat, membuat Guarani FC yang saat itu sedang Berjaya, menawarkan Amoroso kesempatan bergabung dengan akademi mereka di usia 14 tahun.

Empat tahun dia habiskan menimba ilmu di akademik Guarani FC hingga klub mengirimnya untuk mendapat jam terbang ke Japan Soccer League (nama pertama J-League). Masih begitu muda, datang ke negeri orang, ternyata Amoroso terbilang berhasil dan dicintai oleh orang-orang Jepang. “Kami punya banyak pemain bagus yang bergabung. Dia awalnya agresif, terlalu kuat, tapi tenang. Dia sangat cepat, terampil dan kami awalnya tidak sadar. Dia bertahan selama dua tahun di Verdy Kawasaki dan mencetak banyak gol, dia dicintai,” ucap jurnalis asal Jepang, Kenichi.

Amoroso mengangkat dua gelar bersama Verdy Kawasaki (yang sekarang bernama Tokyo Verdy), serta Piala Kekaisaran. Membuat Guarani makin yakin bahwa dia siap bermain di level senior kompetisi Brasil. Sekembalinya dari Jepang, dia memang langsung menyita perhatian dengan torehan 28 gol dalam 39 pertandingan. Yang membuat dirinya digaet oleh Flamengo pada awal 1996.

Namun bakatnya itu sudah tercium sampai Eropa, dan pertengahan 1996, dia menerima pinangan klub Serie A Italia, Udinese. Tiba setahun setelah Oliver Bierhoff bergabung, dia bermain untuk Udinese yang skuatnya dihuni oleh para pemain top, seperti Thomas Helveg, Luigi Turci dan Tomas Locatelli. Di bawah asuhan pelatih Alberto Zaccheroni, Amoroso bakal mencetak 12 gol, hanya selisih satu gol dari Paolo Poggi dan Bierhoff, sekaligus mengantarkan Udinese finish di urutan kelima klasemen akhir liga di musim perdananya.

Kegigihan, kecepatan dan gerakannya yang cerdas, baik di belakang atau depan pertahanan, dengan cepat membuat Amoroso jadi target klub-klub top Eropa. Namun dirinya menahan keinginan untuk pergi, memilih untuk tetap bersama Zaccheroni bertahan di Friuli demi ambisi mengangkat Scudetto.

Ditambah dengan kedatangan Martin Jorgensen, Udinese cukup bersaing untuk perburuan Scudetto. Sayang, mereka harus puas finish di urutan ketiga, dengan tertinggal 10 poin dari juara saat itu, Juventus. Bierhoff yang menyelesaikan musim dengan status topskor Serie A Italia berkat torehan 27 gol, Amoroso kehilangan momentum akibat cedera yang membatasi jumlah penampilannya.

Namun statistik di musim itu tidak membuat nama Amoroso menjadi tenggelam, dia masih jadi incaran klub-klub top kala itu. Saat Udinese ditinggalkan oleh Bierhoff, Helveg dan Zaccheroni yang merapat ke AC Milan, Amoroso coba bertahan dan menjadi tokoh utama di lini depan. Dia akan membuktikan dirinya sekali lagi. Benar saja, musim selanjutnya tanpa para pemain bintang yang sudah pergi, Amoroso menyabet penghargaan topskor dengan torehan 22 gol. Udinese finish di urutan keenam, dengan total 52 gol dalam 34 pertandingan Serie A Italia.

Diincar Manchester United dan Barcelona, Pilih Parma

Marcio Amoroso, striker berbakat yang menjelma jadi monster menakutkan yang berasal dari Brasil.

Amoroso kian sadar bahwa Udinese bukanlah tim yang tepat jika ingin memenuhi potensi besarnya. Rumor kepindahan ke sederet klub besar Italia, serta ketertarikan Bayern Munchen, Barcelona dan Manchester United, terus berhembus selama setahun terakhir.

Secara mengejutkan, Amoroso pun memilih Parma setelah penampilan impresifnya di Copa America 1999. Meski pun menjadi incaran klub-klub besar, dan topskor Serie A Italia di musim sebelumnya, Parma tidak terlalu mengandalkan Amoroso. Di bawah kepelatihan Alberto Malesani yang kaku, Parma sangat bergantung pada Hernan Crespo untuk mengangkat mereka ke urutan kelima di musim tersebut. Striker asal Argentina itu mencetak 22 gol di Serie A Italia. Sementara Amoroso tidak mampu masuk line-up secara konsisten, karena selain Crespo, dia harus bersaing lebih dulu dengan Ariel Ortega dan Mario Stanic.

Namun dirinya sadar bahwa yang dibutuhkan adalah ketekunan dalam latihan dan bagaimana caranya meyakinkan Malesani bahwa dia orang yang tepat untuk memimpin lini serang. Dengan kepergian Crespo ke Lazio, Amoroso pun menjadi langganan di Parma bersama Di Vaio, saat klub menempati posisi keempat klasemen akhir Serie A Italia 2000/2001. Amoroso menunjukkan kebolehannya dalam menggiring bola dan mencetak gol, total 14 gol dia lesakkan ke gawang lawan.

Di tengah masa transisi Parma, saat Gianluigi Buffon dan Lilian Thuram pergi ke Juventus, Amoroso juga mencari tantangan baru. Dirinya merasa lebih layak mengenakan nomor punggung 9 yang dikenakan Di Vaio, namun pengganti Malesani, Renzo Ulivieri tidak mengabulkan keinginan tersebut.

Dengan reputasinya sebagai bomber tajam, Amoroso pun pindah ke Borussia Dortmund dengan nilai transfer sebesar 20 juta poundsterling. Dia memecahkan rekor pemain termahal Bundesliga kala itu. Kepindahan ke Westfalenstadion pun menawarkan halaman baru setelah dua tahun terakhir di Parma yang berjalan sangat sulit.

Meski tidak mencapai puncak penampilannya seperti tahun 1999 lagi, karirnya di BVB bersamaan dengan kemunculan pemain-pemain Brasil ikonik lainnya, seperti Dede, Ewerthon dan Evanilson. Dede misalnya, dia mencatat lebih dari 400 penampilan untuk Dortmund sepanjang karirnya di Jerman.

Namun sayang, karir Amoroso di Dortmund tidak bertahan lama setelah kedatangan para pemain Brasil tersebut. Tapi tetap saja, dirinya masih mencetak gol-gol penting, dengan torehan 28 gol dari 59 penampilan Bundesliga selama tiga musim di Westfalenstadion. Jumlah gol ini terbilang mengesankan mengingat beberapa cedera menghampiri dirinya. Cedera, seperti kebanyakan pemain hebat alami, menjadi pemupus cahaya yang ditunjukkan Amoroso, dirinya harus bersaing dengan striker top lainnya, seperti Ewerthon, Jan Koller dan Heiko Herrlich.

Bagi mantan pemain Parma itu, titik inilah yang menjadi awal dari keterpurukan karirnya secara perlahan. Total 18 gol membuatnya menjadi topskor Bundesliga 2001/02, musim perdananya. Tapi dia hanya mencetak delapan gol pada musim 2002/03 karena cedera dan performa Koller yang impresif, membuat pelatih mengesampingkan Amoroso. Musim terakhirnya bersama BVB, lebih parah lagi, dia cuma mencetak empat gol. Berbanding terbalik dengan Ewerthon yang mengukuhkan dirinya sebagai striker paling mematikan di Bundesliga.

Meski pun karirnya dan reputasi memudar, Amoroso bakal selalu dikenang oleh para penggemar Dortmund. Kecepatan, aksi tipu-tipu dan akselarasi larinya dengan bola, membuatnya sangat ikonik dengan seragam kuning-kuning. Kombinasinya bersama Ewerthon dan juga umpan-umpan silang apik dari Dede, bahkan pernah membuat AC Milan – klub terbaik Eropa kala itu – tersungkur lemas di hadapan Dortmund.

Sial untuk Amoroso, ketika dia cedera, Koller dan Ewerthon malah menjalin duet yang luar biasa mengerikan untuk pertahanan lawan. Faktor tersebut, ditambah serangkaian perselisihan dengan petinggi klub, membuat striker asal Brasil itu diizinkan pergi. Dirinya pindah ke Malaga secara gratis, sebuah kemunduran yang signifikan untuk seorang pemain yang empat tahun sebelumnya dihargai 20 juta poundsterling.

Karier Redup Namun akan Selalu Diingat

Marcio Amoroso, striker berbakat yang menjelma jadi monster menakutkan yang berasal dari Brasil.

Kala itu, karirnya di Brasil juga sudah berakhir, kenangan akan Copa America 1999 jelas sudah memudar. Sementara Ronaldo, Rivaldo dan Ronaldinho mencapai kejayaan terbesar mereka yakni juara Piala Dunia 2002, Amoroso harus puas menonton dari rumahnya di Brasil. Tapi jangan pandang remeh, dia masih punya total catatan 19 penampilan dengan sembilan gol untuk Timnas Brasil. Jika saja dia berbeda timeline dengan Ronaldo atau Rivaldo, tentunya Amoroso bakal jadi yang terbaik.

Semusim saja di Malaga dengan cuma mencetak lima gol, para fans kecewa dengan penampilannya. Klub pun memilih untuk tidak memperpanjang kontraknya dan Amoroso harus pulang ke Sao Paulo untuk menemukan kembali ketajamannya.

Di Morumbi, dirinya bakal sukses mengangkat Copa Libertadores dan Piala Dunia Antarklub, tentu saja, menjadi top skor di kedua kompetisi itu. Seolah-olah sudah bangkit kembali, penampilannya bersama Sao Paulo, lagi-lagi mengundang ketertarikan dari klub besar Eropa.

AC Milan mendatangkannya untuk menggantikan Christian Vieri pada tahun 2005. Tapi hanya sebentar dan dia kembali ke Brasil, dengan perasaan bahwa karirnya sudah pasti berakhir. Sekembalinya ke Brasil, selama tiga tahun selanjutnya, dia berjuang dengan kebugaran. Namun badan dan otaknya menolak setiap usahanya untuk kembali bersinar.

Sempat coba peruntungan ke Amerika Serikat, Amoroso pun menyudahi karirnya pada awal 2017. Karirnya mulai dari menaklukkan Jepang, lalu Italia dan Jerman, serta Brasil negara kelahirannya, tentu saja membuat para penggemar mengingatnya.

Meski pun menjadi ikon sepak bola yang terlupakan, kurun waktu antara 1998 sampai 2003, Amoroso bisa kita bilang sebagai salah satu penyerang paling berbakat, kuat, cepat dan punya kecerdasan teknik. Gol-golnya yang berkelas juga sangat banyak, didorong oleh keterampilan dan keberaniannya di depan gawang lawan. Jika saja, dia lahir di zaman berbeda, tentu saja karirnya akan lebih hebat dibanding yang sudah terjadi. Bakat besar, Marcio Amoroso.