Bolazola – Tidak cocok dengan para pemain adalah dosa besar untuk para pelatih sepak bola, khususnya pada medio 1970an dan 1980an. Di masa-masa itu, bau pesing dan bir basi tercium dari gerbang pertama stadion hingga ke ruang ganti pemain. Di tahun 80-an, tidak ada manajer yang menghargai filosofi ‘kebersamaan semua pemain’ seperti Ron Atkinson.
Ron Atkinson adalah pria yang berpendapat bahwa Marcel Desailly yang memenangkan Piala Eropa dua kali, sebagai pemain yang pemalas. Ketika pendapat itu keluar, Ron Atkinson adalah pria yang sangat percaya diri yang bertanggung jawab atas tim paling elit di Britania Raya, yakni Manchester United.
Saat itu, Man United yang sudah menyandang status klub besar, memiliki tim yang dihuni para pemain yang tidak mampu mereplika prestasi George Best dalam menjuarai liga bersama klub. Namun mereka menyamainya dengan cara lain, seperti suka minum-minum di pub milik legenda Man United, Paddy Crerand. Saat itu, trio berbakat seperti Norman Whiteside, Paul McGrath dan kapten klub Bryan Robson, bukan hanya jadi andalan di lapangan untuk tim Atkinson, tapi juga untuk acara pesta di malam hari untuk semua pemain. Anehnya, meski para pemainnya suka berpesta di malam hari, Atkinson tampak sangat senang melihat kebersamaan itu.
Sementara itu, Mark Hughes yang baru saja bergabung, sebenarnya tidak menolak untuk melakukan hal yang aneh, termasuk minum-minum di akhir pekan. Namun anehnya, Hughes tidak dipandang Atkinson seperti pemain lainnya. Ketika tiba di Old Trafford, Atkinson langsung menilai Hughes pemain yang sedikit pemurung, dan bukan pemain antusias tinggi. Bahkan Atkinson menyebutnya dengan julukan ‘Sparky’, yang artinya ‘bercahaya’. Julukan itu jelas sebuah olok-olok dari sang pelatih melihat kurangnya bersemangat sang striker muda ketika sesi latihan.
Yang dikhawatirkan dari olok-olok seperti itu adalah ketika Atkinson membuat korbannya bingung, merasa tidak aman, apalagi mengundang tawa dari para pemain senior yang sekaligus cari muka pada sang pelatih. Ketika semua sudah selesai menanggapi julukan itu, Atkinson juga biasa mengatakan ‘Bergembiralah, Sparky, kamu orang yang membosankan. Bercanda doang Kok’. Kalimat sakti yang selalu dilontarkan di akhir tawa semua orang-orang.
Awal ketidaksukaan Atkinson pada Hughes bermula dengan sang pemain kebanyakan duduk di bangku cadangan. Namun krisis cedera membuat sang pelatih terpaksa memberi pemain muda asal Wales itu kesempatan. Bermula dari kesempatan semenit-dua menit, Hughes mulai mencetak gol demi gol yang membuat dirinya tidak tergantikan. Namun, sikap Atkinson tidak mudah berubah.
Meski begitu, Hughes tetap berada di tim dengan torehan lima gol dalam 10 penampilannya sebagai starter di musim debutnya. Lalu pada musim 1984-85, ketika Man United finish di peringkat keempat Liga Inggris dan mencapai final Piala FA, Hughes mencetak 24 gol di semua kompetisi. Final Piala FA di Wembley musim 1985 adalah pertama kali Hughes menunjukkan kemampuannya untuk tampil di partai besar.
Laga final berhasil dimenangkan oleh Manchester United atas Everton, dan ini menjadi trofi Piala FA kedua Atkinson sebagai manajer di Old Trafford. Hughes juga berperan besar dalam gol tunggal sekaligus penentu kemenangan Man United yang dicetak oleh Whiteside. Dia memberikan umpan yang indah, namun kontribusinya secara keseluruhan di laga tersebut, membuktikan dia memang nyaman berada di panggung yang lebih besar.
Hughes Pindah ke Barcelona
Atkinson sudah memenangkan dua trofi Piala FA bersama Manchester United di tahun 1983 dan 1985, namun klub menginginkan trofi Liga Inggris, yang terakhir kali dimenangkan oleh manajer Matt Busby di tahun 1967. Pada musim 1985/1986, tanda-tanda semesta Setan Merah akan menjuarai liga sangatlah terlihat. Man United memenangkan 10 laga perdana di Liga Inggris, dengan Hughes sudah mencetak 11 gol sebelum Hari Natal tiba. Tim ada di puncak klasemen dan tampaknya tidak terhentikan.
Namun Barcelona yang kala itu dilatih oleh Terry Venables, sadar akan bakat besar Hughes dan mengajaknya untuk gabung di pertengahan musim. Hughes sebenarnya tidak mau pergi dari klub yang sudah dibelanya sejak remaja, tapi jauh di dalam hatinya, dia sudah merasa terlalu lama menjadi bahan stand-up Atkinson di ruang ganti. Dia juga berasumsi sang manajer tidak ingin dia bertahan. Sebuah kesepakatan pun terjadi, namun Hughes hanya ingin gabung di akhir musim 1985/86.
Hughes memang merahasiakan kesepakatan transfer dengan Barcelona, namun tetap saja, media Inggris terus menguliknya. Hingga akhirnya enam bulan tersisa di musim itu, hampir setiap laga seperti mimpi buruk untuk Hughes. Caci maki yang mungkin tadinya hanya bercandaan dari manajer, berubah menjadi serius di tengah spekulasi yang terus berhembus di luar Old Trafford.
Performa di atas lapangan menurun drastis dengan minuman keras memperparah situasinya. Hingga akhirnya, United gagal juara dan finish di urutan keempat di klasemen liga, Atkinson sendiri menjalani awal yang buruk di musim berikutnya, setelah kepergian Hughes. Dengan gagal juara di musim 1985/86 ditambah awal musim buruk di tahun 1986, penantian Setan Merah akan gelar juara Liga Inggris menuju 20 tahun lamanya.
Manchester United jelas membutuhkan seorang pria yang mampu mengubah mentalitas klub secara keseluruhan, seorang yang bisa mengubah para pemain menjadi pria sejati. Presiden Man United Martin Edwards, mengarahkan pandangannya ke utara Inggris. Alex Ferguson namanya, sosok yang sudah merevolusi Aberdeen dalam tujuh musimnya di klub Skotlandia itu. Yang kala itu menghancurkan dominasi Old Firm di sepak bola Skotlandia.
Kebetulan, setelah tiga gelar juara liga, empat Piala Skotlandia, satu Piala Liga, sekali juara Liga Europa dan Piala Super Eropa, Ferguson sedang mencari tantangan baru. Edwards pun resmi mengangkatnya sebagai pelatih kepala Man United pada November 1986. Ferguson langsung melihat kesamaan antara tim Man United dan Aberdeen ketika dia datang pada 1978.
Namun, meski sudah merombak tim seperti mengeluarkan para pemain yang senang minum-minum, McGrath dan Whiteside di antaranya, tidak ada satu pun piala, apalagi liga yang berhasil dimenangkan United asuhan Ferguson. Tiga tahun berlalu tanpa trofi, pada awal tahun 1990, Man United bahkan tercecer di peringkat ke-13 klasemen sementara Liga Inggris. Performa tim membuat manajemen mulai berpikir apakah Ferguson orang yang tepat untuk mengembalikan trofi Liga Inggris ke lemari piala di Old Trafford.
Ferguson di Ujung Tanduk, Mark Hughes Penyelamat
Beruntung, Ferguson sudah punya pandangan akan kesulitan tim asuhannya, dengan membawa Mark Hughes kembali dari Barcelona di musim panas 1988. Entah dia mengetahui atau tidak, keputusan transfer satu ini akan mengubah arah nasib Man United. Hughes sendiri telah mengalami masa-masa sulit di Barcelona, yang akhirnya dipinjamkan ke Bayern Munchen. Selama di Spanyol, dia menemukan teman baru yang kebetulan dari Inggris. Yakni penyerang legendaris Gary Lineker, yang tidak seperti teman-teman lamanya di skuat Man United asuhan Atkinson.
Hughes pernah menggambarkan bahwa Lineker tidak suka berpesta di malam hari, dia lebih senang menikmati makan malam dengan segelas anggur di sebuah restoran. Berteman dengan Gary Lineker selama di Spanyol, sedikit banyak mengubah pola hidup Hughes yang tadinya suka minum-minum, menjadi lebih sehat. Yang membuatnya punya energi lebih yang dibutuhkan untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya selama 90 menit.
Jelang pertandingan menghadapi Nottingham Forest di putaran ketiga Piala FA pada Januari 1990, Alex Ferguson meminta Hughes untuk bermain bagus di laga-laga besar. Mungkin pada pertandingan itu, bisa dibilang yang menyelamatkan posisi Ferguson sebagai pelatih kepala Setan Merah. Dan Mark Robins memang yang mendapat puja-puji karena mencetak gol kemenangan 1-0. Namun kemampuan Hughes-lah yang menjadi dalang kemenangan laga ini.
Pada menit ke-56, sebuah aksi luar biasa dari Lee Martin membuatnya melewati pemani Forest Toddy Orlygsson. Martin berhasil mempertahankan bola sebelum menarik bek kanan Brian Laws dan memberi umpan kepada Hughes yang berdiri bebas di sisi kiri. Hughes, setelah melihat Robins sudah satu langkah di depan Stuart Pearce, langsung membelokkan bola ke arah Des Walker dengan bagian luar sepatu kanannya, sebuah umpan yang sangat bagus, cepat dan putaran yang pas, yang membuat Robins hanya perlu membiarkan bola membentur kepalanya untuk menaklukkan Steve Sutton dan mencetak gol kemenangan.
Setelah laga tersebut, semuanya terus membaik dengan Man United memenangkan Piala FA di tahun itu. Dan yang terjadi setelahnya adalah kisah yang melegenda sampai sekarang, mereka memenangkan Piala Winners, Piala Super dan Piala Liga, sebelum disusul pada 1993, sebuah gelar liga pertama Sir Alex Ferguson untuk Man United, pertama kali dalam 26 tahun puasa gelar klub.
Hughes berperan penting dalam semua kesuksesan ini dan para penggemar Man United mulai menyayanginya. “Saya merasa lebih bagus mengekspresikan diri saya di atas lapangan daripada di luar lapangan,” ucap Hughes usai mengantarkan tim juara Liga Inggris tahun 1993.
Atkinson mungkin tidak pernah memahami hal tersebut dan kemudian berdampak fatal bagi timnya. Namun Ferguson paham dan itulah yang menyelamatkan pekerjaannya sebagai manajer Manchester United.
Comment