Kapan terakhir kali kamu mendengar nama Paulo Henrique Chagas de Lima atau Ganso? Mungkin gelandang serang asal Brasil ini menjadi pemain favorit yang kamu gunakan atau sering muncul di dalam video game sepak bola. Dia adalah gelandang serang berbakat yang meredup sejak dini.
Tidak, dia belum pensiun. Dia baru berusia 31 tahun tapi tentu saja umurnya sudah tidak lagi muda. Mantan pemain Santos, Sao Paulo, Sevilla dan Amiens itu namanya memang tenggelam dengan sendirinya. Jika kalian mengetikkan namanya di mesin pencarian, tentu akan ada banyak video-video yang mempertontonkan sang pemain saat masih belia.
Video-video tersebut akan memperlihatkan kepada kalian seberapa besar bakat yang diberikan Tuhan kepadanya, bagaimana dia melakukan trik, kejeliannya sebelum melepaskan umpan dan sentuhan pertamanya yang tidak biasa. Apa yang tidak akan Anda lihat adalah Ganso berlari. Atau sangat jarang, setidaknya. Tapi hari-hari indah itu telah berakhir, terkubur oleh serangkaian operasi lutut yang harus dijalaninya. Ketika kalian merupakan seorang wonderkid, para junior di bawah kalian yang tentunya punya bakat besar juga, akan menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan. Di atas lapangan, mungkin akan sedikit lebih keras dari biasanya, tapi itulah sepak bola.
Itulah yang terjadi tentang Ganso, sosok yang kita kenal pernah dan masih jadi sahabat Neymar. Pasangan sahabat ini tumbuh bersama di Santos, sangat dekat, di dalam dan di luar lapangan. Masa-masa indah di Santos bersama Neymar, Ganso ternyata lebih dulu jadi buah bibir di seluruh pelosok Brasil. Tentu saja karena dia menawarkan sesuatu yang tidak dapat dilihat dari para pemain lain yang satu Angkatan dengannya. Tendangan klasik, cara bermain halus yang sangat kontras di kejuaraan negara bagian Brasil. “Dia jenius. Saya selalu mengatakan dan yakin dia bakal menjadi The Next Zidane,” ucap Neymar mengakui bakat besar dalam diri Ganso.
Masa Depan Berbeda untuk Ganso dan Neymar
Ketika Ganso dan Neymar mulai bersinar bersama Santos jelang Piala Dunia 2010, pelatih Brasil saat itu, Dunga terus diburu dengan pertanyaan soal keduanya. Apakah kedua bintang muda itu masuk ke dalam skuatnya untuk terbang ke Afrika Selatan. Brasil yang tersingkir pulang pada babak perempatfinal, tidak memanggil keduanya. Lalu, ada panggilan dari pengganti Dunga, yakni Mano Menezes.
Tepat setelah melakukan debut seniornya untuk Selecao, Ganso yang berusia 20 tahun absen selama beberapa bulan karena cedera lutut yang menerpanya dan mengarahkannya kepada masalah kebugaran. Dia berhasil kembali pada waktunya untuk akhir kampanye Copa Libertadores Santos, saat tim asuhan Muricy Ramalho menghadapi Penarol di partai final. Setelah absen di leg pertama, Ganso dimainkan kembali bersama para pemain seperti Neymar, Danilo dan Alex Sandro, yang semuanya melakukan perjalanan ke Eropa di tahun-tahun berikutnya.
Sebaliknya, Ganso, masih tanpa panggilan dari benua biru dan memutuskan untuk pindah ke Sao Paulo. Di klub tersebut dia kembali menyaksikan momen pahit di matanya. Yakni Lucas Moura pergi ke Paris Saint-Germain, Welliton berakhir di Spartak Moscow dan Souza beralih ke Fenerbahce. Di Sao Paulo, Dia bermain dengan Luis Fabiano, Alexandre Pato, Michel Bastos hingga Kaka. Jadi mengapa begitu lama, sampai dia berusia 26 tahun dalam kasus Ganso, untuk membuat mimpi main di Eropa jadi kenyataan? Ada alasan mengapa banyak klub Eropa dikaitkan dengannya, namun hanya Sevilla yang cukup berani untuk mengontraknya.
Alasan-alasan itu terungkap di Spanyol, ketika Ganso berjuang untuk mengatasi tempo bermain di LaLiga yang jauh berbeda dengan sepak bola Brasil. Jorge Sampaoli telah membuat permintaan khusus untuk membawa pemain Brasil itu ke Ramon Sanchez-Pizjuan dengan harga sekitar €9 juta. Namun pada akhirnya, sang pelatih merasa tidak suka dengan sang pemain. “Ketika seseorang meminta Anda datang ke klub dan kemudian tidak memainkan Anda, ada sesuatu yang terjadi,” kata Ganso bertahun-tahun kemudian soal sikap Sampaoli.
Tentu saja, ada momen-momen brilian di Andalusia, termasuk sentuhan indah, trik-trik kecil, dan umpan-umpan yang membelah pertahanan, namun, seperti ketika seorang pesulap menyelesaikan aksinya, fans selalu menginginkan lebih. Pemain hebat sering diberkati dengan kemampuan untuk membuatnya terlihat seolah-olah mereka sedang bermain dalam gerakan slow motion. Masalah bagi Ganso adalah, saat dia dengan teknik tinggi dan seolah-olah slow motion saat mengolah bola, dia juga melakukan hal yang sama saat sedang tanpa bola. Para pesepakbola di Benua Biru tidak bisa lamban ketika sedang tanpa bola, kebanyakan pelatih menuntut mereka untuk berjuang menekan lawan. Cedera, jelas memainkan peran mereka dan seiring berjalannya waktu, dia makin jarang dimainkan.
Di klub dan di bawah pelatih yang prinsipnya dibangun di atas semangat dan intensitas, itu adalah ketidakcocokan di Sevilla, bahkan setelah Sampaoli pergi. Ada transfer pinjaman ke Amiens, di mana ia akan menghadapi Neymar yang sudah bergabung ke Paris Saint-Germain di Ligue 1 Prancis. Itu adalah sesuatu yang menarik bagi masyarakat Prancis.
“Neymar seperti sampanye. Dia adalah anggur bersoda, gelembung di mana-mana – yang Anda buka dan minum saat pesta, sebuah kesenangan. Ganso, seperti anggur Bordeaux. Dia memiliki kualitas yang fantastis, tetapi Anda meminumnya dengan lebih hati-hati. Keduanya penting untuk makan malam yang enak,” tulis mantan presiden Santos, Luis Alvaro de Oliveira Ribeiro, dalam otobiografinya.
Sementara Neymar telah menjadi merek global, Ganso seperti itu-itu saja, bak makanan khas lokal yang disajikan dua atau tiga kali sebulan di Rio’s Maracana. Sepak bola terbaiknya telah dimainkan di Brasil, saat juara Libertadores dan Copa do Brasil bersama Santos, jauh dari sorotan panggung Eropa. Dia memang sempat bersinar di Copa America 2011, hitung-hitung menebus waktu yang hilang setelah pencoretan Namanya dari skuat Brasil di Afrika Selatan. Ganso starter di tiga pertandingan fase grup di Argentina.
Dalam pertandingan terakhir grup itu, dia membuktikan kemampuannya. Setelah gol penyama kedudukan ke gawang Ekuador, gelandang Santos itu memberi bola untuk Neymar dan, ketika sahabatnya menaklukkan kiper dan mencetak gol kemenangan. Namun langkah Selecao tidak jauh, mereka terhenti di babak perempatfinal oleh Paraguay yang saat itu dilatih oleh Gerardo Tata Martino.
“Agar Neymar tidak menjadi ancaman bagi kami, bola tidak boleh sampai ke Ganso. Dia adalah pemain yang membuat semua operan dan sangat penting untuk tidak memberinya ruang. Brasil selalu memastikan bahwa bola mengarah ke nomor 10 mereka (Ganso),” kata Tata Martino sebelum pertandingan.
Dia juga punya alasan untuk khawatir, karena sudah menghadapi Brasil dan Ganso di babak penyisihan grup. Dengan tim Martino unggul 2-1 hingga menit-menit akhir pada pertemuan di fase grup, lini tengah dan pertahanannya seolah tidur dengan Ganso yang sukses menemukan ruang. Sepersekian detik kemudian, satu sentuhan saja dari Gans, Fred berada di posisi finis untuk menyamakan kedudukan. Babak pertama, Ganso juga menjadi pengatur serangan atas gol Jadson.
Dengan pengalaman itu, Tata Martino benar-benar mematikan pergerakan bola skuat Brasil yang terus mengarah kepada Ganso. Brasil pun gagal dan tersingkir di Argentina pada perempatfinal Copa America 2011.
Setelah Copa America 2011 yang tidak terlalu bagus, Ganso beruntung bahwa Menezes tidak dipecat dari kursi kepelatihan Timnas Brasil. Dia tetap dipanggil setidaknya untuk satu tahun lagi, yakni Olimpiade 2012 di London, Inggris. Namun lagi-lagi Brasil kalah di partai final dari Meksiko dan harus puas dengan medali perak. Ganso? Dia nyaris tidak tampil, hanya 18 menit sebagai pemain pengganti di partai pembuka grup kontra Mesir. Setelahnya, hanya duduk manis di bangku cadangan. Setelah Olimpiade 2012, Dunga kembali ke kursi pelatih Selecao, berita buruk tentunya. Meski pada Copa America 2016 dirinya dipanggil ke skuat, tapi tetap saja dia tidak dapat menit bermain.
“Hari ini, sulit untuk bergantung pada satu pemain, Anda harus bermain secara kolektif” kata Dunga kepada O Globo pada tahun 2015.
Makin Meredup Setelah Olimpiade 2012
Jadi, keluar dari daftar pilihan utama untuk Brasil di ajang internasional dan gagal bersinar di Eropa, kita kembali lagi pada tahun 2021. Ganso kini masih aktif bermain dan membela Fluminense. Dia bermain bersama para pemain veteran seperti striker berusia 37 tahun, Fred bahkan Nene yang sudah berusia 40 tahun.
Lagi dan lagi, dia menyaksikan pemain muda dari Fluminense akan gabung Manchester City, yakni Kayky. Pemain berusia 18 tahun punya nama lengkap Kayky da Silva Chagas akan gabung Manchester City U-23 lebih dulu pada Januari 2022 mendatang.
Melihat Ganso sekarang, mungkin kita ada sedikit penyesalan yang tentu juga dirasakan sang pemain. Penyesalan akan sebongkah berlian dari Negeri Samba yang tidak pernah benar-benar maksimal mencapai level tertingginya.
Masalah lutut pada tahun 2010 mungkin membuat Ganso seperti kehilangan momentum dalam kariernya. Bersahabat dengan Neymar, jika memang tidak bisa sebesar bintang PSG itu, setidaknya dia bisa punya karier yang gemilang di benua Eropa. Apalagi para pelatih elite di sepak bola modern sekarang, membutuhkan gelandang serang yang bisa mengatur permainan timnya. Kualitas yang ada dalam diri Ganso saat memulai karier professional bersama Santos.
Kegagalan Ganso merupakan masalah berulang yang terjadi pada bakat-bakat sepak bola Brasil. Terlepas dari faktor-faktor kegagalan yang meliputi sang pemain, uang yang diterima klub-klub Brasil saat melepas pemain mudanya harusnya bisa digunakan kembali.
Entah itu untuk pelatihan dan ilmu olahraga, atau membina para pemain muda agar terhindar dari masalah-masalah dan cedera seperti yang mengubur mimpi Ganso. Kini Ganso hanya akan dikenal sebagai gelandang berbakat yang meredup sejak usia dini.