Selalu ada dinamika alami di antara saudara kandung atau angkat, seperti yang pernah terjadi di sejarah sepak bola Inggris. Shaun Wright-Phillips lahir pada tahun 1981 dan kemudian diadopsi ketika usianya menginjak tiga tahun oleh Ian Wright, yang kini namanya dikenang sebagai pemain legendaris Arsenal.
Saat mengambil keputusan untuk mengadopsi Shaun, Ian masih berstatus sebagai pemain yang harus berjuang untuk jadi pemain sepak bola profesional. Uji coba gagal dengan Southend dan Brighton, membawanya ke kontrak semi-profesional dengan Greenwich Borough. Hingga pada tahun 1985, Crystal Palace merekrutnya secara profesional, bertepatan dengan tahun kelahiran adik Shaun, Bradley yang statusnya anak kandung Ian dan kekasihnya.
Keduanya (Shaun dan Bradley) memiliki seorang ayah yang menyayangi mereka dalam diri Ian Wright. Sepasang kakak-adik ini akan mewakili sebuah kisah baru dalam argumen anak kandung vs anak angkat. Yang akan menjadi sorotan banyak orang dan mengundang pertanyaan, siapakah yang paling diuntungkan dengan kemampuan ayah mereka yang melegenda di lapangan hijau. Anak yang lebih tua yang diangkat atau anak kandung yang lebih muda?
Dengan tinggi badan hanya lima kaki, pilihan posisi Shaun di lapangan hijau jelas terbatas, meski awalnya dia memulainya dengan posisi striker. Dia mengenyam pendidikan di akademi Nottingham Forest namun dilepas di usia 17 tahun dan gabung Manchester City. Dia melakukan debutnya di kasta kedua sepak bola Inggris saat Man City menghadapi Port Vale pada Oktober 1999 silam.
Shaun dan Bradley, Adik-Kakak yang Beda Nasib
Dia bisa dibilang sangat jarang mendapatkan kesempatan di skuat senior Man City, hingga kedatangan Kevin Keegan menjadi manajer baru pada musim panas 2001 silam. Sang manajer memberinya satu tempat di posisi bek sayap. Di tahun tersebut, dia juga memenangkan enam caps bersama Inggris U21 namun ada kesan karirnya stagnan di Maine Road – markas Manchester City dulu. Ini adalah era sebelum Emirates dan City yang membangkitkan raksasa masa lalu di Kota Manchester. Namun, uang dari luar negeri akhirnya lambat laun berpengaruh pada karir Shaun. Taipan asal Rusia, Roman Abramovich yang mengakuisisi Chelsea membayarkan uang sebesar 21 juta poundsterling kepada Man City untuk memboyong Shaun di musim panas 2005 silam.
Ketika transfer ke Chelsea tersebut, Bradley yang meniti karirnya di akademi Manchester City sejak 2001, tiba-tiba dipromosikan ke skuat senior. Dia datang sebagai striker konvensional berusia 20 tahun, yang lebih mirip dengan gaya ayahnya, Ian Wright. Tapi sang kakak – meski tidak kandung – sudah berangkat ke ibu kota Inggris. Yang membuat keduanya tidak pernah satu tim di skuat senior Man City, padahal sama-sama dari tim akademi. Shaun juga punya nasib yang lebih sukses ketimbang sang adik, dengan memenangkan Liga Inggris dan Piala FA bersama klub barunya, Chelsea.
Di Manchester, Bradley malah kesulitan untuk mendapatkan satu tempat di lini serang dengan 32 penampilan di Liga Inggris dan hanya cetak dua gol dalam dua musim. Dia akhirnya dilepas City ke Southampton lalu tenggelam begitu saja di Divisi Championship. Dia dikontrak dengan kesepakatan potongan harga 500.000 poundsterling, sekitar 2,5% dari biaya yang dibayarkan Chelsea untuk kakaknya, Shaun. Bradley sekali lagi membuktikan bahwa dia hanyalah pemain yang frustrasi setelah cuma satu gol dalam lima pertandingan.
Sementara itu, Shaun bermain secara sporadis di Chelsea, sering menjadi korban dari suasana hati Jose Mourinho yang berubah-ubah. Tapi tetap, dia sudah menjadi pemain reguler tim nasional Inggris namun di Chelsea, dia hanya sebatas pemain pengganti. Dia memenangkan caps pertamanya untuk tim senior Inggris menghadapi Ukraina pada 2004. Dia juga ikut gabung dengan skuat tim nasional Inggris di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Ironisnya, Bradley terhenti pada lima penampilan bersama Inggris U-20. Usai membela Southampton, dia berpindah-pindah tim, seperti Plymouth, Charlton dan Brentford yang hanya berkutat di kasta bawah.
Shaun kembali ke Manchester City untuk singgah sebentar pada tahun 2008, namun dengan David Silva yang juga datang, kesempatannya bermain di Etihad terbatas. Kemudian pada 2011, dia pindah ke Queens Park Rangers di hari terakhir jendela transfer. Tampaknya kedua pemain bersaudara ini sama-sama tertatih menuju masa pensiun.
Dua tahun kemudian, Bradley menemukan solusi atas karirnya yang biasa-biasa saja. Dia bergabung setelah menandatangani kontrak dengan New York Red Bulls pada 2013 dan mencicipi Major League Soccer awal-awal. Terlepas dari reputasinya sebagai rumah para pemain yang uzur, MLS juga menjadi kompetisi yang bebas dari tekanan sepak bola Inggris.
Bradley dengan cepat menjadi legenda MLS saat ia membantu Red Bulls meraih gelar juara pertama mereka dan menjadi pencetak gol terbanyak di musim pertamanya. Reputasinya diperkuat dengan dua sepatu emas MLS lainnya dan sebuah tempat di buku rekor sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa klub. Rekor Bradley dengan 108 gol dalam 195 penampilan merupakan torehan yang mengesankan, terlepas dari standar sepak bola yang dianggap lebih rendah.
Shaun dan Bradley Bermain Bersama di MLS
Kakak beradik ini akhirnya bersatu dalam tim senior ketika Shaun mengikuti sang adik Bradley ke New Jersey pada Juli 2015. Dia menikmati debut impiannya untuk bermain bersama saudaranya, masuk dari bangku cadangan untuk memberikan assist bagi adiknya dalam kemenangan 3-1 atas Philadelphia Union. Setelah satu musim, ia pindah ke tim NASL Phoenix Rising, dan pensiun pada tahun 2017.
Bradley mungkin telah jatuh ke dalam perangkap seorang adik yang mencoba meniru kakaknya, tetapi dia juga memiliki tekanan dari seorang ayah yang legendaris yang membayangi kariernya sendiri. Di Amerika Serikat, dia telah menemukan pembalasannya untuk menjadi salah satu pemain terhebat yang pernah ada di kompetisi Negeri Paman Sam.
Karier keduanya mungkin tidak sepenuhnya berjalan seperti yang dibayangkan, tetapi Shaun dan Bradley Wright-Phillips akhirnya membuat Ian bangga sebagai ayah. Di dunia, di mana darah lebih kental daripada air, melihat anak sendiri sukses tentu saja jauh lebih berharga daripada penghargaan atau rekor apa pun. Namun, keduanya tidak pernah membela Arsenal yang dicintai sang ayah dalam karier mereka, sesuatu yang menurut sang kakak, Shaun, menjadi penyesalan bagi ayahnya. Ketika ditanya oleh FourFourTwo apakah dia berpikir ayahnya akan menginginkan mereka bermain di Highbury atau Emirates sebagai pemain Arsenal.
“Saya pikir jika Anda bertanya kepadanya (Ian) sekarang, dia akan menjawab menginginkan hal tersebut (gabung Arsenal). Itu akan jadi cerita yang indah untuk dikenang,” ucap Shaun Wright-Phillips kepada FFT.
Di saat yang sama, Shaun juga tetap mengakui bahwa ayahnya sangat bangga dengan karirnya dan juga sang adik, terlepas dari apakah mereka pernah main untuk Arsenal atau tidak dalam karirnya. “Saya pikir dia bangga dengan karir kami, kami membuat jalan kami sendiri. Saya bermain dengan cara yang saya inginkan, dengan menjadi seorang winger karena sejak kecil senang menonton para pemain winger. Begitu juga adik saya, dia suka menyaksikan para striker mencetak gol, dan Anda bisa lihat sendiri apa yang dia lakukan di MLS,” jelas Shaun.
Dalam interview yang sama, Shaun Wright-Phillips menegaskan bahwa dirinya dan sang adik, Bradley, juga tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain tentang perbandingan karir dengan ayahnya, Ian Wright yang melegenda.
Comment