Dua dari keputusan paling penting Sir Alex Ferguson sebagai manajer Manchester United melibatkan sebuah pertukaran pandangan yang jujur di dalam sebuah mobil.
Pada 2001, pom bensin dekat markas latihan klub di Carrington menjadi saksi ketika Fergie memberitahu Jaap Stam bahwa karirnya di Man United sudah berakhir. Stam, salah satu bek terbaik yang pernah ada di Liga Inggris, sudah menjadi andalan di jantung pertahanan United sejak gabung dari PSV Eindhoven pada 1998. Kemampuannya mengatur dan konsistensi luar biasa di lini pertahanan bisa dibilang menjadi pondasi kokoh bagi kesuksesan luar biasa klub.
Setan Merah menjual bek asal Belanda itu untuk menyeimbangkan buku keuangan mereka, namun di atas lapangan, tentu kepergian sang pemain meninggalkan lubang besar di barisan pertahanan. Benar saja, kesuksesan tim asuhan Fergie seketika runtuh ketika Arsenal merebut kembali gelar Liga Inggris di musim setelah Stam pergi dari Old Trafford.
Pelatih asal Skotlandia itu kemudian mengaku bahwa penjualan Stam adalah sebuah kesalahan yang mahal. Namun dia tidak pernah benar-benar menyesal, melihat nama besar milik Man United lainnya yang diberitahu tidak punya masa depan di Old Trafford dalam sebuah percakapan penuh emosi di dalam mobil. Itu terjadi lagi pada Paul Ince.
Pemain berjuluk ‘Guv’nor’ yang sangat penting untuk dominasi Man United di awal era Premier League. Ince yang tidak kenal lelah, cerdas dan klinis, dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Inggris dalam tiga musim beruntun, sebelum meninggalkan Man United seperti Stam. Namun Fergie, yang selalu mengaku kecewa dengan sikap Ince di ruang ganti, memutuskan untuk menjualnya.
Menurut cerita Ince, dia sedang main golf bareng Ryan Giggs ketika menerima panggilan telepon dari Ferguson. Dia pun meninggalkan pemain asal Wales yang kebingungan dan langsung menemui sang manajer di dalam mobil. Beberapa menit kemudian, hidup Ince berubah selamanya. Dirinya tidak pernah ingin meninggalkan United, jadi dia berpikir akan mendapatkan kontrak baru berdurasi empat tahun. Tapi faktanya, dia menerima dorongan untuk segera meninggalkan klub.
Pada musim panas yang penuh dengan perubahan di Old Trafford, Mark Hughes dijual ke Chelsea, Andrei Kanchelskis dibuang ke Everton dan Ince pun dilego ke Inter Milan. Klub raksasa Italia itu sebenarnya juga menanyakan soal Eric Cantona. Namun tidak seperti Ince, Ferguson memandang gelandang asal Prancis itu sebagai pemain yang sangat diperlukan.
Pada puncak karirnya, berusia 28 tahun pada bulan Oktober 1995, Ince akhirnya gabung Nerazzurri pada saat yang penuh ketidakpastian. Memenangkan gelar secara rutin bersama United, Ince datang ke Inter Milan yang sedang dalam masa transisi. Setelah menghindari degradasi pada musim 1993/94, tim yang diasuh Ottavio Bianchi mampu finish di urutan keenam pada musim 1994/95, terpaut 21 poin dari sang juara Juventus.
Ince, Langsung Diterpa Badai Rasisme di Italia
Kegagalan domestik anehnya bertepatan dengan kemenangan Piala UEFA pada 1994, yang ternyata tidak cukup untuk presiden klub Massimo Moratti yang baru membeli klub di awal tahun itu. Menurut Moratti, Ince adalah seorang gelandang serba bisa yang memadukan skill dan agresivitas, sangat tepat untuk melengkapi puzzle yang dibutuhkan Inter Milan kala itu.
Beberapa bulan pertamanya di Italia tidak berjalan mulus. Datang sebagai pemain yang sudah terlanjur menikmati gaya main Premier League yang penuh dengan intrik, cepat dan langsung menyerah, Serie A Italia lebih lambat namun lebih teknis. Karena tidak mampu berbicara dengan bahasa Italia, Ince benar-benar ada di luar zona nyamannya ketika di luar lapangan. Setelah memandang remeh perbedaan antara kedua liga, di atas lapangan Ince kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Proses adaptasi yang sulit tidak terbantu dengan taktik Bianchi. Pelatih asal Italia yang pernah membawa Napoli juara Serie A Italia, Coppa Italia dan Piala UEFA pada medio 1987-1989, menerapkan formasi 5-3-2 yang defensif. Dengan Ince digeser ke sisi lapangan. Setelah menjadi jantung dari formasi 4-4-2 Ferguson yang sangat sukses, Ince berada di liga yang tidak Ia kenal, sistem yang tidak bisa dipahami dan dikelilingi oleh para pemain yang tidak dia pahami.
Pada musim panas 1995 itu, Inter sangat aktif berbelanja pemain dengan tidak kurang dari 16 pemain bergabung. Bianchi yang ada di bawah sorotan media, berjuang keras untuk melakukan revolusi yang begitu besar. Selain itu, budaya rasisme dalam sepak bola Italia menciptakan situasi yang tidak mengenakkan dan tidak bersahabat untuk Ince. Sebagai orang kulit hitam pertama yang jadi kapten Inggris, Ince merasa tidak nyaman setelah melihat grafiti bernada rasis di salah satu tembok Giuseppe Meazza, setelah ia menandatangani kontrak dengan Inter.
Sementara para petinggi Inter menganggapnya sebagai ulah para penggemar Milan yang sakit hati, Ince justru harus berhadapan langsung dengan sisi buruk sepak bola Italia itu. Pada bulan April 1996, Ince dilecehkan secara rasial oleh para penggemar Cremonese setelah mencetak gol dalam kemenangan 4-2 untuk Inter. Ironisnya, setelah menoleh ke arah mereka yang menyorakinya dengan memberikan tepuk tangan, Ince justru diberikan kartu merah oleh wasit. “Hal ini tidak pernah terjadi pada saya di Inggris. Namun saya tidak ingin memikirkannya, saya hanya ingin menikmati gol pertama saya di Italia. Mengenai kartu itu, saya hanya bertepuk tangan kepada orang-orang yang menghina saya, itu bukan sesuatu yang tidak senonoh,” ujar Ince.
Sayangnya, hal tersebut menjadi lebih buruk. Pada bulan Oktober 1996, Ince diusir dari lapangan saat Inter menang 2-0 atas Piacenza setelah ia dianggap memukul Gianpietro Piovani saat para pemain menunggu sepak pojok. Piovani menjatuhkan dirinya ke tanah secara teatrikal dan, meskipun ia kemudian mengakui telah mengejek Ince secara rasial, namun gelandang Inter-lah yang dijatuhi hukuman skorsing.
Ince-Piovani hanyalah salah satu dari beberapa insiden terkenal pada tahun itu, yang paling terkenal adalah ketika George Weah mematahkan hidung Jorge Costa dengan satu pukulan ke arah kepala, setelah sang pemain menuduh pemain asal Brasil itu terus menerus melakukan penghinaan rasial terhadap dirinya selama pertandingan Liga Champions Milan melawan Porto. Pada awal tahun itu, sekelompok fans Verona menanggapi ketertarikan klub mereka untuk merekrut gelandang asal Belanda, Michel Ferrier, lewat aksi menggantungkan sebuah boneka hitam dengan jerat di lehernya di tribun penonton.
Pergi dari Inter Milan, Ince Sudah Mendobrak Batasan
Ketika Paul Gascoigne harus berjuang melawan sorotan media yang intens dan lingkar pinggang yang semakin membesar selama tiga tahun masa baktinya di Lazio, apa yang dialami Ince di Italia jauh lebih menyedihkan dan menyedihkan. Untungnya, nasibnya membaik di atas lapangan. Bianchi dipecat hanya dalam empat pertandingan pada musim 1995/96 dan digantikan oleh Roy Hodgson, setelah Luis Suárez mengambil alih jabatan pelatih sementara.
Di bawah asuhan pelatih masa depan Inggris itu, Ince memainkan beberapa penampilan terbaik dalam kariernya, mencetak sepuluh gol di semua kompetisi saat Inter mencapai final Piala UEFA 1997. Ia juga mulai terbiasa untuk mencetak gol-gol penting, seperti mencetak gol kedua dalam kemenangan 3-0 di Coppa Italia atas Juventus di Stadio delle Alpi.
Diunggulkan melawan Schalke, tim asuhan Hodgson kalah 1-0 di leg pertama final Eropa mereka. Ince absen pada laga tersebut, namun ia kembali tampil pada pertemuan kedua untuk menciptakan assist dalam gol Iván Zamorano, saat ia menyambar umpan silang Alessandro Pistone dan memaksakan perpanjangan waktu. Namun Inter akhirnya kalah 4-1 dalam adu penalti, yang membuat para pendukung tuan rumah yang marah di dalam stadion melempari Hodgson dengan koin dan korek api.
Hodgson berhenti dua hari dari kejadian tersebut dan Ince juga tidak kerasan lagi. Dia pun gabung dengan Liverpool pada Juli, yang mana transfer ini merusak hubungannya dengan Manchester United. Meski sampai hari ini, orang-orang masih mempertanyakan kepergiannya dari United, dia mengaku bangga dengan dua tahun karirnya di Kota Milan.
Kisah Ince adalah kisah tentang mendobrak batasan-batasan yang berasal dari banyak hal, mulai dari bahasa, taktik, sampai budaya. Begitu besar pengaruhnya sehingga berita kepindahannya ke Anfield membuat Moratti menangis, karena tidak bisa mencegahnya. Dia mungkin tidak menambah daftar prestasi dalam CV-nya selama membela Inter, tapi sikapnya dalam menghadapi penindasan (dalam hal ini rasisme), Ince memang patut dipandang sebagai legenda sepak bola.
Comment