Carlos Tevez, Didier Drogba dan Thierry Henry adalah segelintir nama besar di sepak bola yang pernah merasakan kembali ke klub yang bisa disebut rumahnya. Dari daftar tersebut, terdapat satu nama asal Italia, yakni Gianfranco Zola.
Zola lahir dan besar di Sardinia, sebelum bergabung di tahun 2003, dia tidak pernah bermain untuk tim terbesar di pulau itu, Cagliari. Klub-klub local Sardinia yang pernah dia bela adalah Minnows Nuorese dan Torres. Meskipun demikian, dia adalah pahlawan lokal.
Berasal dari kota Oliena, Zola selalu menjadi pendukung kemajuan pulau tersebut. Dia mengizinkan perusahaan-perusahaan Sardinia untuk menggunakan hak cipta photo dirinya secara gratis dan menjadikan rumahnya di timur laut Pulau Sardinia sebagai asset selama dia bersama Chelsea. Dia bahkan pernah tampil dua kali untuk tim daerah Sardinia, meski rekan-rekan setimnya di sana bisa dibilang di level amatir. Tapi itu tidak jadi masalah untuk Zola demi pulau kelahirannya.
Setelah dari Torres, dia menarik perhatian Napoli dan mengemban tugas berat, yakni sebagai pengganti Diego Maradona. Namun, dia berhasil menjawab harapan tersebut dengan gelar juara Liga Italia musim 1989/90 silam. Kemudian, dia juga mampu mencetak lebih dari 50 gol untuk Parma, sebelum akhirnya memutuskan merantau dan jadi bagian penting dalam sejarah klub Chelsea.
Dia bergabung dengan Chelsea pada November 1996, jauh sebelum Roman Abramovich mengambil alih. Zola mencatat 312 penampilan dengan torehan 80 gol, 59 gol di antaranya terjadi di Liga Inggris. Sebulan setelah Abramovich datang pada Juli 2003, Zola memutuskan untuk pergi dari Stamford Bridge dan gabung Cagliari.
Namun pemilik baru The Blues tersebut melihat sebenarnya Zola masih dibutuhkan oleh klub. Dia tidak peduli sang pemain sudah pindah ke Cagliari, dia meminta klub asal Sardinia itu untuk menjualnya kembali ke Chelsea. Bahkan Abramovich sampai bertanya kepada pemilik Cagliari saat itu, Massimo Cellino, seberapa besar biaya untuk dia membeli Cagliari, demi mendapatkan Zola kembali ke Chelsea.
“Kami berusaha keras untuk menemukan solusi, dan ketika Abramovich masuk, dia memang menginginkan Zola kembali. Tapi situasinya sudah sulit,” komentar CEO Trevor Birch tentang situasi tersebut.
Memilih Cagliari dan Pulang ke Kampung Halaman
Pada akhirnya, keputusan saat itu ada di tangan Zola sebagai pemain, yang mana dia sudah mencapai kesepakatan dengan Cagliari. Bahkan bukti dirinya ngebet pulang ke kampung halamannya terbukti dengan potongan gaji hingga 90 persen agar transfer bisa dirampungkan. Itu semua atas nama kesetiaan kepada rakyat Sardinia.
“Meninggalkan Chelsea bukanlah hal yang termudah, saya hanya bisa pergi ke Cagliari,” katanya kepada The Guardian pada 2003.
“Setelah bertahun-tahun di luar negeri, saya ingin menunjukkan diri saya di kampung halaman dan rakyat yang saya sayangi. Untuk dapat memberikan kesenangan kepada orang-orang di sini (Sardinia), seperti yang saya lakukan di London.”
Akhirnya, Zola resmi mewujudkan mimpi terakhirnya sebelum pension, yakni membela klub terbesar di Pulau kelahirannya, Cagliari.
Cagliari Sedang Buruk-buruknya saat Zola Pulang ke Sardinia
Saat dia bergabung pada 2003, Cagliari benar-benar dalam situasi yang terus memburuk setelah terakhir kali menjuarai Serie A Italia pada musim 1969/1970 silam. Bahkan saat musim 2002/2003 berakhir, tepat di waktu Zola bergabung, Cagliari baru saja finish di urutan ke-8 Serie B Italia. Kepulangannya ke Sardinia juga bertujuan sederhana sekali, yakni tiket promosi ke Serie A Italia. Semua orang di Sardinia bertanya-tanya, apakah Zola yang sudah berusia 37 tahun mampu menyanggupi tujuan promosi tersebut.
Untuk menjawab keraguan rakyat di pulau kelahirannya, Zola langsung tancap gas pada penampilan debutnya Bersama Cagliari. Dia mencetak empat gol saat Cagliari membantai Valgusana 11-0 di laga pra musim. Dia bahkan mencetak satu gol dalam debut kompetitif di ajang Coppa Italia saat Cagliari menang Pro Patria.
Kick-off Serie B musim 2003/2004 memang sempat ditunda karena suatu masalah, namun saat dimulai, Cagliari memulainya dengan kemenangan 3-0 atas Catania. Gol ketiga berasal dari tendangan bebas melengkung yang dicetak oleh Zola. Dia melakukan hal yang sama saat Cagliari menang 3-0 atas Pescara di laga selanjutnya. Namun, setelah itu penampilan tim benar-benar menurun dan berujung pada pemecatan Gian Pietro Ventura, klub saat itu bertengger di urutan kedelapan.
Barulah pada Februari 2004 segalanya membaik, dengan dua gol Zola yang menginspirasi kemenangan 5-1 atas pemimpin klasemen saat itu, Atalanta. Serangkaian sepuluh kemenangan dalam 11 pertandingan terakhir, di mana Zola menjadi starter di semua pertandingan kecuali satu pertandingan, membuat Cagliari dipromosikan sebagai runner-up Bersama sang pemuncak, Palermo ke Serie A Italia. Promosinya Cagliari ini sekaligus memperkenalkan Pulau Sardinia ke masyarakat Italia lebih luas. Pasalnya, pulau ini selalu menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat Italia.
Seperti yang dikomentari oleh Zola sendiri, “Orang Sardinia di daratan dianggap sebagai orang yang picik dan keras kepala.”
Karena itu, memiliki tim di Serie A memiliki makna yang sangat besar untuk identitas Pulau Sardinia. Hal ini semakin terbantu oleh seragam biru dan merah Cagliari bersamaan dengan nama beken yang dimiliki oleh Zola.
Promosi ke Serie A, tapi Musim Terakhir Zola Bersama Cagliari
Namun sebelum musim pertama setelah promosi ke Serie A Italia 2004/2005 dimulai, Zola menegaskan bahwa ini akan jadi tahun terakhirnya bermain sepak bola. Dia pun bertekad untuk menikmati sisa-sisa kariernya sebagai pemain dan tentunya mencoba untuk tidak membuat Cagliari terdegradasi kembali ke Serie B. Namun kenyataan jauh lebih baik saat itu, Zola membuka keran golnya di Serie A pada awal Oktober saat mencetak gol dari titik putih saat tim mengalahkan Brescia.
Tidak hanya Zola yang terus tampil konsisten meski usianya sudah lewat 38 tahun, Cagliari juga mengejutkan dengan berada di urutan keempat klasemen sementara Serie A pada bulan Desember. Mereka bahkan mengungguli Inter Milan, Lazio dan AS Roma saat itu. Lengkap dengan pencapaian spektakuler mereka yang menuju babak perempatfinal Coppa Italia.
Perlu diketahui bahwa Cagliari bukan hanya Zola seorang saat tampil di Serie A musim 2004/2005. Mereka memiliki para pemain berbakat seperti David Suazo, Mauro Esposito dan Massimo Gobbi. Bahkan saking banyaknya talenta dalam skuat Cagliari, Zola sempat berganti-ganti posisi. Namun dia cenderung sering dipasang sebagai pemain nomor 10 atau istilah bahasa Italia dikenal dengan sebutan Trequartista di belakang Esposito dan Antonio Langella. Terkadang juga, dia ditempatkan di posisi striker tunggal, dengan duo penyerang sayap yang jauh lebih muda dalam formasi 4-3-3.
Dengan posisi striker tunggal pula, Zola berhasil berperan besar dalam kemenangan terbaik Cagliari di musim tersebut, saat menggulingkan Chievo dengan skor 4-2. Dia membuka skor untuk Rosanero dengan tendangan bebas yang luar biasa. Tidak lama kemudian, dia menggandakan keunggulan lewat titik putih kotak penalty, setelah Langella dilanggar pemain lawan. Pada gol ketiga Cagliari, Zola juga berperan sebagai pemberi assist dari tendangan sudut.
Tepat sesaat sebelum tahun baru 2005, Zola juga menandai awal tahun dengan mencetak gol kemenangan ke gawang Lazio di perpanjangan waktu. Laga tersebut merupakan leg kedua yang membuat Cagliari memastikan tiket ke babak 16 besar Coppa Italia.
Masih di bulan Januari, Zola juga berhasil membawa timnya menahan imbang Juventus dengan skor 1-1. Penyerang yang punya tinggi badan hanya 168 cm itu mengalahkan bek-bek Bianconeri yang memiliki fisik besar, seperti Jonathan Zebina dan Lilian Thuram untuk menanduk bola dan menaklukkan Gianluigi Buffon.
Tapi semua momen menakjubkan itu secara mendadak hilang begitu saja. Cagliari bisa dibilang kehilangan momentum terbaik mereka di paruh kedua musim. Tiga bulan menuju akhir musim, Cagliari hanya memenangkan satu pertandingan Serie A Italia. Mereka juga tersingkir dari semifinal Coppa Italia oleh Inter Milan, meski ini juga pencapaian apik mereka.
Satu-satunya kemenangan yang mereka raih yang saya sebutkan itu adalah kemenangan 3-0 atas Roma. Lagi-lagi Zola yang mengenakan ban kapten turut mencetak gol dari tendangan bebas. Tapi sayang sekali, meski mencetak dua gol dalam penampilan terakhirnya sebagai pemain, Zola harus melihat Cagliari kalah 4-2 dari Juventus.
Zola, Pahlawan yang Kembali ke Kampung Halaman
Usai penampilan terakhirnya, Zola memilih untuk memisahkan diri dari rekan-rekan setimnya dan merenungkan perjalanan sepanjang kariernya. Dua tahun Bersama Cagliari, dia berhasil mencetak 27 gol dan satu assist dari total 81 penampilan di Serie A dan Serie B. Dia menutup kariernya dengan berbagai gelar prestisius, seperti dua gelar Piala FA 1997, 2000, sekali juara Piala Liga Inggris 1998, Piala Super Eropa 1998 dan Piala Super Inggris 2000 bersama Chelsea.
Membawa Napoli menjuarai Serie A Italia musim 1989/90 silam juga bisa dibilang cukup membuktikan kualitasnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan membawa Parma mengejutkan saat juara Piala UEFA. Total sepanjang kariernya, dia sudah bermain 666 kali, dengan torehan 201 gol dan 32 assist.
Membawa Cagliari promosi ke Serie A dan berakhir di urutan ke-12 (alias jauh dari zona degradasi), tentu membuat masyarakat Sardinia berterimakasih banyak kepadanya. Bahkan kontribusinya itu seolah-olah menjadi fondasi dasar Cagliari yang pasca-pensiun Zola, mampu bertahan 11 musim beruntun di Serie A Italia. Ini merupakan yang terlama di kasta tertinggi dalam sejarah klub selama empat dekade terakhir. Para pemain terkenal Cagliari seperti Andrea Cossu, Daniele Conti, dan Radja Nainggolan memang beken, namun tidak ada yang memiliki daya pikat sebesar Zola.
Bahkan kegagalannya sebagai manajer pada tahun 2014, yang membuatnya dipecat setelah hanya sepuluh pertandingan, tidak menghilangkan rasa hormat masyarakat Sardinia pada Zola. Meskipun lebih dihormati di Inggris, dengan fans Chelsea telah memilihnya sebagai pemain terhebat mereka, ketimbang di Italia, waktu singkat dua tahun Bersama Cagliari telah membuat negaranya mengenal seberapa besar dirinya. Cagliari pun sempat memutuskan untuk mengistirahatkan nomor punggung 10 yang dikenakan Zola hingga kembali dipakai oleh Andrea Capone pada musim 2006/2007 silam.
Gianfranco Zola, yang selalu melakukan segalanya dengan senyum di wajah dan mampu menanamkan rasa optimism ke ribuan masyarakat Sardinia, membuktikan kepulangannya, bak pahlawan yang menyelamatkan kampung halaman.
Comment